REPUBLIKA.CO.ID, Pada mulanya dia berbicara dengan bahasa Visaya, bahasa yang sejumlah kosakatanya mirip bahasa jawa atau melayu. Lima dalam bahasa Indonesia disebut limo. enam disebut anim.
Tujuh disebut pitu. Tak lupa, dia juga mampu berbicara Bahasa Sangihe, salah satu bahasa daerah Sulawesi Utara. Bahasa Inggris sedikit dikuasainya.
Ketika itu 2011, tahun pertama kali baginya menginjakkan kaki di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Davao. Dia masuk dan menjadi murid Sekolah Indonesia Davao (SID).
Pria berkulit putih ini bingung, karena sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Awalnya dia mengucapkan selamat pagi, apa kabar. Sudah. Tidak lebih. Setiap hari kemudian dia mengikuti program kursus Bahasa Indonesia di SID. Dia kemudian menginap di Asrama SID, sekitar Kompleks KJRI Davao.
Setelah beberapa pekan mengikuti kursus, mulailah Reymark merangkai kata. "Kamu sudah makan?" katanya menjelaskan. Itupun mengucapkannya terbata-bata.
Namun demikian semangatnya untuk bisa berbahasa Indonesia sangat besar. Dia mulai menghimpun kosakata berbahasa Indonesia.
Awalnya adalah kosakata yang dilihat mata, sekitar tempat tinggalnya. Ada bangku, meja, peralatan sekolah, taman, dan lainnya.
Dia juga memanfaatkan tamu dari Indonesia untuk berdialog dengan bahasa Indonesia. "Saya beranikan diri. Salah sedikit tidak apa-apa," imbuhnya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Jika ada kosakata yang tidak diketahuinya dalam bahasa Indonesia akan dia tanyakan kepada tamu yang disambutnya dengan bahasa Inggris.
Dia mempelajari Bahasa Indonesia menggunakan direct method atau metode langsung dalam percakapan sehari-hari. Semangatnya adalah harus bisa berbahasa Indonesia.
Awalnya pasti tidak sempurna. Lambat laun dia semakin mahir berkata. Bahkan saat diwawancarai Republika, Jumat (23/8), dia sudah lancar berbahasa Indonesia.
Satu pemikiran menjadi penguat Reymark untuk berbahasa Indonesia. Ini adalah bahasa Ibu Pertiwi. Rasanya tidak enak sekali jika menjadi orang Indonesia, namun tidak bisa berbahasa Indonesia.