REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kekosongan regulasi yang mengatur peredaran minuman berlakohol secara nasional menyusul dicabutnya Keputusan Presiden Nomor 3/1997 oleh Mahkamah Agung RI, perlu segera ditindaklanjuti.
"Harus ada undang-undang khusus tentang minuman beralkohol, supaya lebih tuntas pengaturannya," kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, di Jakarta, Kamis (22/8).
Ia tak menampik ketiadaan payung hukum tersebut dapat menimbulkan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, RUU Antiminuman Beralkohol —yang sekarang masih digodok di parlemen— menurut dia perlu dipercepat perumusan dan pengesahannya.
pada tahun lalu, RUU ini sebenarnya sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR. Sayangnya, nasibnya belum jelas juga sampai saat ini.
Beberapa waktu terakhir, berbagai kasus pengonsumsian minuman keras yang berujung pada kematian para pelakunya marak terjadi di sejumlah daerah.
Di Kemayoran Jakarta Pusat, jumlah korban tewas akibat menenggak miras oplosan terhitung mencapai 13 orang hingga Kamis (22/8).
Sementara di Sumedang Jawa Barat, empat orang meregang nyawa usai menggelar pesta air api bersama tujuh rekannya yang lain, Rabu (21/8). Kasus serupa juga terjadi Indramayu Jabar.
Di sana, dua orang juga meninggal setelah menggelar pesta haram tersebut. Gamawan berpendapat, pemerintah pusat belum perlu mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) ataupun peraturan pemerintah (PP) menunggu disahkannya RUU Antiminuman Beralkohol.
Ia lebih sepakat jika pemerintah provinsi dan kabupaten kota segera menerbitkan peraturan daerah (perda) miras untuk mengisi kekosongan payung hukum soal miras ini.
"Kami berharap ada kebijakan dari daerah untuk melahirkan perda miras. Jika nanti RUU-nya sudah disahkan, pemda tinggal menyesuaikan saja," ujarnya.