Ahad 18 Aug 2013 16:25 WIB

Kemenag: Survei LSI Terkait Isbat Bisa Menyesatkan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
  Suasana sidang isbat penetapan 1 Syawal 1434 H yang dipimpin oleh Menteri Agama Suryadharma Ali di kantor Kemenag, Jakarta, Rabu (7/8).   (Republika/ Yasin Habibi)
Suasana sidang isbat penetapan 1 Syawal 1434 H yang dipimpin oleh Menteri Agama Suryadharma Ali di kantor Kemenag, Jakarta, Rabu (7/8). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) melalui Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam mengkritisi survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terkait sidang isbat. Dalam survei tersebut disimpulkan sebanyak 51, 08 persen umat Islam menginginkan peran pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan dan Lebaran lebih minim.

Dirjen Bimas Islam Kemenag, Abdul Djamil mengatakan hasil survei itu harus dipertanyakan. LSI harus terbuka bagaimana pengambilan sampel  dan metodologi apa yang digunakan. "Sampel survei itu harus diuji validitas mewakili populasi umat Islam. Jangan sampai ada kecenderungan kelompok untuk pengambilan sampel yang dapat membuat hasil survei itu malah menyesatkan," ujarnya ketika dihubungi ROL, Ahad (18/8).

Djamil melihat ada hasil yang bias dari survei LSI itu, karena populasi umat Islam sangat besar dan luas. "Jadi sampel yang random pun tidak bisa asal comot saja, harus dipahami betul apakah mewakili umat Islam Indonesia atau tidak," tegasnya. Bila sampel tidak bisa mewakili umat Islam yang besar ini maka, kata dia, tidak menutup kemungkinan hasil survei ini hanya untuk provokasi semata.

Ia pun mengingatkan bahwa pelaksanaan isbat oleh Kementerian Agama, bukan tanpa dasar. Pelaksanaan isbat di Kemenag merupakan keputusan bersama ormas Islam. Dan ormas Islam adalah representasi dari berbagai kelompok umat Islam yang ada di Indonesia. Selain itu, jelas Djamil, pelaksanaan isbat oleh Kemenag juga merupakan mandat yang diamanahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

"Sejak 2004 MUI melalui komisi fatwa telah memandatkan pelaksanaan sidang isbat ini ke Kemenag. Dengan demikian umat Islam Indonesia pun harus mentaati hasil sidang isbat yang merupakan mandat dari para Ulama ini," ujarnya.

Terkait keinginan publik agar penetapan hasil sidang isbat lebih awal, menurut Djamil, penentuan awal bulan hijriah terutama Ramadhan dan Syawal menggunakan dua metodologi hisab dan rukyat. Metodologi hisab melalui perhitungan bisa dilakukan jauh hari, akan tetapi untuk metodologi rukyat atau melihat awal bulan (hilal) perlu dilakukan di akhir bulan sebelumnya dan tidak bisa sebelum akhir bulan.

Kemudian adanya keinginan agar sidang isbat tertutup, Djamil mengatakan alasan kenapa sidang isbat terbuka adalah bentuk transparansi dan pembelajaran pemahaman kepada  publik. Ditengah kebebasan arus informasi saat ini, kata dia, umat perlu paham apa itu metodologi penetapan awal bulan hijriah seperti hisab dan rukyat. Dan bagaimana penetapan awal bulan hijriah itu sesuai dengan Alquran dan hadits.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement