REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 1944, setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, Jepang membolehkan penggunaan simbol-simbol kebangsaan se perti bendera merah-putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Tapi, tak mudah mendapatkan kain untuk bendera, karena sebagian rakyat masih menggunakan karung goni untuk membalut tubuhnya. Bahkan Fatmawati, istri Soekarno, pun tak punya kain untuk dijadikan bendera merah putih. Pasalnya, barang-barang eks impor dikuasai Jepang.
Untuk menjahit Sang Merah Putih, Fatmawati memanggil seorang pemuda, Chaerul Basri, untuk menemui Shimizu, seorang pembesar Jepang. Shimizu adalah pimpinan barisan Propaganda Jepang, yaitu Gerakan Tiga A. Dia juga ditunjuk sebagai perantara dalam perundingan Indonesia-Jepang pada tahun 1943.
Karena Shimizu rajin mendengarkan uneg-uneg, pikiran, dan pendirian orang Indonesia saat itu, lebih bisa diterima bahkan dianggap ‘teman’. Apalagi, dia juga mampu berbahasa Indonesia, meski terpatah-patah. Shimizu lantas menghubungi seorang pembesar Jepang lainnya yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol. Kain itu oleh Fatmawati dijahit menjadi sebuah bendera berukuran 2x3 meter.
Pada 1977, Shimizu ke Indonesia. Dia bertemu Presiden Soeharto dan sejumlah tokoh yang pernah dikenalnya. Dalam sebuah pertemuan, Fatmawati kemudian menceritakan kain bendera pusaka dari Shimizu.
Pada 1946-1968, bendera tersebut hanya dikibarkan setiap hari ulang tahun kemer dekaan. Sejak 1969, bendera itu tak dikibarkan lagi dan disimpan di Istana Merdeka. Bendera itu sempat sobek pada kedua ujungnya. Ujung berwarna putih sobek 12X42 cm, sedangkan ujung berwarna merah sobek 15x47 cm. Ada pula bolong-bolong.