REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Keberadaan tambang emas di Pulau Buru selama ini dinilai tidak mensejahterakan masyarakat setempat dan lebih banyak dinikmati segelintir oknum yang menamakan dirinya dewan adat.
"Uang miliaran rupiah yang dikumpul lewat penjualan karcis masuk lokasi penambangan kepada puluhan ribu pendatang lebih dominan mengalir ke kantung-kantung pribadi para pengurus dewan adat," kata tokoh adat Desa Waelo, Baman Basan, yang dihubungi dari Ambon, Sabtu (10/8).
Meski mendapat untung besar, namun dewan adat tidak bertanggung jawab untuk menyantuni keluarga korban ketika terjadi bencana longsor yang mengakibatkan penambang tewas atau menderita luka-luka.
Dia juga menyebutkan, saat terjadi bencana banjir yang melanda puluhan warga desa beberapa waktu lalu, tidak pernah mendapatkan perhatian dewan adat yang selama ini sudah banyak menikmati hasil kekayaan tambang lewat penjualan karcis, pungutan biaya parkir, dan penjualan baju kaos.
Baman mengatakan, sikap mencari keuntungan pribadi dari sejumlah oknum dewan adat Buru ini membuat kecewa warga. Kondisi ini juga diperparah dengan sikap pemerintah dan instansi terkait yang tidak tegas dalam menegakkan hukum, sehingga banyak muncul permasalahan tapi tidak pernah dituntaskan sesuai mekanisme yang berlaku.
"Saya kira sudah saatnya Pemkab Buru instansi terkait lebih bersikap tegas serta membenahi prosedur hukum agar setiap oknum pelaku kejahatan bisa diproses dan terpenting lagi membersihkan lokasi Gunung Botak dan sekitarnya dari aktivitas penambangan ilegal serta membubarkan dewan adat," katanya.