Jumat 02 Aug 2013 21:37 WIB

Soal Anas, KPK Dituding Tak Adil

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Mansyur Faqih
Gedung KPK
Foto: Yogi Ardhi
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus hukum yang menjerat mantan ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dinilai tak adil. "Buktinya permintaan klien saya agar KPK menelusuri dana proyek Hambalang yang ikut masuk dalam pembiayaan iklan kampanye tiap-tiap kandidat yang bertarung dalam kongres Partai Demokrat mereka tolak, dengan dalih itu wilayahnya sangat politis," kata kuasa hukum Anas, Firman Wijaya, Jumat (2/8).

Ia berpendapat, pemeriksaan KPK terhadap Anas sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan politik. Hal tersebut ditunjukkan lewat ucapan Juru Bicara KPK Johan Budi belum lama ini, yang memanggil Anas dengan sebutan 'mantan Ketua Umum Partai Demokrat'. Bukan sebagai 'tersangka kasus Hambalang'. 

Menurutnya, itu sama artinya KPK tidak memandang Anas sebagai subjek hukum. Melainkan subjek politik. Dugaan Firman soal politisasi kasus Anas semakin mencuat saat tampilnya terpidana kasus suap Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin di depan media baru-baru ini. 

Dalam pernyataannya di gedung KPK, mantan bendahara Umum Partai Demokrat itu tidak saja menyerang Anas. Tetapi juga politisi-politisi dari parpol lain. Antara lain, Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto dan Bendahara Umum PDI Perjuangan Olly Dondokambey. 

Firman menganggap pernyataan Nazaruddin yang muncul belakangan itu punya kaitan dengan pemilu 2014. KPK, tambah dia, seharusnya mempelajari dan mendalami hasil investigasi yang ia lakukan walau sekecil apa pun, tanpa harus keluar dari entitas hukum. "Sayangnya, hal itu mereka tolak," imbuhnya.

Ia menambahkan, bukti yang diserahkannya ke KPK tidak sekadar bertujuan mengungkap keterlibatan Andi Mallarengeng yang juga menjadi tersangka dalam kasus proyek Hambalang. "Kami tidak mengarahkannya kepada personalitas Pak Andi. Tetapi kami ingin transparan saja mengungkap siapa-siapa saja yang ikut bermain di belakang kongres itu."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement