Senin 29 Jul 2013 22:54 WIB

Soal Khofifah, DKPP Kritik KPU Jatim

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Jimly Asshiddiqie
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang gugatan pelanggaran kode etik yang diadukan pasangan bakal calon gubenur Jawa Timur Khofiffah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja kembal digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (29/7). Sidang ketiga itu mengungkap sejumlah fakta tentang kurang tertibnya administrasi yang dlakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur dalam melaksanakan tahapan verifikasi.

"Ini pelajaran untuk semua KPU di Indonesia. Untuk tertib administrasi dalam menyelenggarakan semua tahapan dan melahirkan keputusan," kata Ketua DKPP Jimly Asshidiqie, di kantor DKPP Jakarta.

Pernyataan itu disampaikan Jimly setelah mendengarkan keterangan dari komisioner KPU Jatim sebagai teradu, Khofiffah-Herman sebagai pengadu, dan saksi ahli yang dihadirkan kedua belah pihak. Persoalan mendasar tentang dukungan ganda, menurutnya terjadi karena adanya persoalan dalam administrasi yang dilakukan KPU serta jajarannya.

"Pelanggaran administrasi itu juga jadi sumber pelanggaran etik. Bagaimana membuat keputusan dari pendapat yang berbeda itu harus diperhatikan, jangan seolah-olah ada perpecahan sebab mudah mencurigainya," ujar Jimly. 

Sidang yang dihadiri oleh puluhan pendukung Khofiffah, termasuk pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng Salahuddn Wahid. Mereka mendengarkan keterangan saksi ahli dihadirkan oleh KPU Jatim, yakni ahli hukum administrasi negara Universitas Airlangga Emanuel Sudjatmoko.

Keterangan normatif dari Emanuel justru mengungkap banyaknya persoalan yang menyangkut administrasi dalam tahapan verifikasi bakal calon gubernur di Jatim. Dukungan ganda yang diberikan terhadap pasangan Khofiffah-Herman dan Soekarwo-Syafullah Yusuf tak lepas dari sengketa kepengurusan dalam partai politik. Yakni dari Partai Kedaulatan dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI).

Menurut Emanuel, UU Parpol menegaskan bila ada perselisihan dalam kepengurusan parpol maka diselesaikan dalam mahkamah parpol. Bila tidak ada mahkamah parpol, diselesaikan lewat hierarki parpol dengan mengacu pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Bila tak tercapai kesepakatan, bisa dibawa ke peradilan negeri.

"KPU tak punya kewenangan menyelesaikan sengketa tersebut. Tapi KPU bisa melakukan verifikasi terhadap sah atau tidaknya pengurus parpol tersebut dengan mencermati surat dukungan yang disampaikan," kata Emanuel.

Dalam persidangan, terungkap fakta bila hasil penelitian KPU Jatim terhadap dukungan ganda melahirkan pendapat berbeda dari komisioner. Ketua KPU Andry Dewanto Ahmad dan anggota kpu Sayekti Suindyah menilai dukungan dari PK dan PPNUI kepada Khofiffah sah. Karena ditandatangani oleh pengurus partai terbaru. Sementara dukungan terhadap pasangan Karsa diteken oleh pengurus partai lama dan ada indikasi pemalsuan dokumen. Namun, tiga komisioner KPU lainnya menganggap dukungan tersebut tidak sah.

Fakta cukup mengejutkan disampaikan Andry. Dokumen hasil penelitian KPU terhadap dukungan parpol kepada balon pasangan cagub tidak diteken lima komisoner. "Tapi dalam rapat pleno, justru dokumen ini tidak diteken oleh lima komisioner. Padahal berita acara memenuhi syarat atau tidak dukungan didasarkan pada dokumen induk ini," kata Andry sambil memperlihatkan dokumen kepada majelis sidang DKPP.

Andry dan Sayekti memutuskan tidak meneken karena memilih untuk tidak ikut dalam konflik partai. Bila dipaksakan ditandatangani, menurut Andry sama artinya menyetujui dokumen yang isinya tidak benar.

Andry juga mengungkap, semua komisioner KPU Jatim sebelum mengeluarkan keputusan telah berkonsultasi dengan Ketua KPU Husni Kamil Manik. Pesan dan rekomendasi dari KPU pusat mereka jadikan pertimbangan saat memutuskan pasangan cagub yang lolos. 

"Ketua pesan jangan terlibat dalam konflik parpol. Dicek saja mana kepengurusan parpol yang masih berlaku. Dalam surat KPU disebutkan, dalam melaksanakan pilgub harus jaga hak konstitusional parpol sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ungkap Andry.

Pertimbangan itu yang menurut Andry dijadikannya sebagai landasan dalam mengambil keputusan KPU Jatim paad 14 Juli 2013 malam. Meski telah mencoba meyakinkan dan melobi komisioner lainnya, tetap terjadi perbedaan pandangan. Yang akhirnya memutuskan Khofiffah-Herman tidak lolos. Karena tidak memenuhi dukungan minimal 15 persen suara partai lantaran dukungan PK dan PPNUI dianggap tidak sah.

Sementara anggota KPU Jatim lainnya, Agung Nugroho mengatakan verifikasi yang telah dilakukan sudah sesuai dengan prosedur dan aturan KPU. Mereka juga telah melakukan upaya konfrontasi antara sekjen dan ketua PK dan PPNUI yang berbeda pendapat soal dukungan tersebut. Walau akhirnya tidak membuahkan hasil.

Khofiffah mengatakan, bukti dan fakta persidangan memperlihatkan memang telah terjadi upaya perampasan hak konstitusional oleh KPU. Terjadi  juga upaya penghilangan suara dari PK dan PPNUI yang jelas-jelas mendukung Khofiffah-Herman. "Ada fakta hukum, fakta prosedural, dan fakta politik. Kami optimis ini akan jadi pertimbangan DKPP," ujar Khofiffah.

Sidang putusan akan digelar DKPP pada Rabu (31/7) mendatang. DKPP mempertimbangkan tahapan pelaksanaan pilkada yang terus berlangsung sehingga hak konstitusional pengadu harus diperhatikan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement