REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajang kontestasi politik dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) seharusnya menjadi sebuah instrumen untuk mendidik publik. Sayangnya, gara-gara pragmatisme politik, hal itu diabaikan.
Politik dinasti, misalnya, yang kian marak dan kebablasan. Alhasil, pemilukada tak ubahnya sebagai ajang berburu kekuasaan semata.
"Nilai kepatutan berpolitik saat ini, kian dianggap tak penting. Demi kekuasaan, keetisan dinomorduakan," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ari Junaedi, Ahad (21/7).
Ari menyesalkan praktik politik dinasti semakin menggejala di negeri ini. Sebenarnya, kata dia, politik dinasti wajar dijalankan, asalkan, nilai kepatutan ditegakkan. Akibatnya, terjadi distorsi dan anomali politik di era reformasi.
Ia menambahkan, kebebasan politik yang kian terbuka, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang hanya semata berjuang demi terjaganya kekuasaan oleh kerabatnya.
Misalnya, istri Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad yang tersandung kasus masih sempat berlaga di Pilwali Bekasi. Kisah serupa terjadi di Pemilihan Gubernur Sumatra Selatan (Sumsel). Salah satu pasangan adalah Herman Deru-Maphilinda Syahrial Oesman.
Maphilinda adalah istri dari mantan gubernur Sumsel, Syahrial Oesman, yang pernah terjerat kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-api.
"Tapi itulah, hampir semua Pemilukada, jika suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, sang istri seolah-olah 'terpanggil' ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarganya," ujar Ari.
Koordinator Indonesian Budgeting Center (IBC), Arif Nuralam mendukung dihilangkannya politik dinasti di negeri ini. Pasalnya, model dinasti cenderung melahirkan pimpinan yang feodal dan korup. Untuk itu, ia setuju, kalau RUU Pilkada mengatur pengetatan politik dinasti.
"Termasuk suami atau istri atau anak yang terbukti, pernah korupsi, tak pantas untuk diusung, karena akan melanggeng dinasti yang korup," kata Arif.