REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Karjono masih ingat betul suasana mencekam di desanya, Kinahrejo Cangkringan, Selasa 26 Oktober 2010 petang. Auman serine tanda bahaya langsung bersambut kepanikan warga.
Ada yang berlari naik-turun desa untuk mencari sanak keluarga. Ada juga yang berteriak histeris dan tak tahu apa yang harus diperbuat.
Di saat yang bersamaan, Gunung Merapi mulai memuntahkan letusan dahsyatnya. Awan panas dengan kecepatan tinggi siap melahap desanya yang berjarak hanya empat kilometer dari puncak Merapi itu.
Di antara seluruh kepanikan dan ancaman yang terbentang di hadapan, yang dia lakukan hanya satu, menyelamatkan ternaknya.
Dia segera bergegas ke kandang yang berada di ujung desa. Kandang yang terisi oleh sebuah sapi dan 12 kambing itu segera dimasuki. "Saat itu saya langsung kepikiran ternak, karena itu setelah keluarga dievakuasi saya coba cek keadaan ternak," ungkapnya saat dijumpai Republika di Wukir Sari, Sleman.
Sapi dan kambing-kambing yang terikat tambang coba dia lepaskan. Satu persatu simpul dia buka. Di saat yang sama, awan panas (wedhus gembel) terus meluncur ke arah Karjono. Dipacu waktu dengan pertaruhan nyawa, Karjono terus berusaha.
Alhasil, sapi dan kambingnya terlepas dari ikatan. Dia pun segera pun ambil langkah seribu. "Setelah (sapi) lepas langsung saya pergi," ujarnya.
Karjono sadar, usahanya menyelamatkan sapi dan kambing harus dipertaruhkan dengan nyawa. Karjono bersyukur, harta paling berharga yang dia miliki selamat. "Alhamdulillah keluarga selamat. Ternak juga masih ada, dan bisa menghasilkan penghasilan hingga kini" ujarnya bersyukur.
Karjono beruntung. Tapi tak semua mengalami nasib serupa dia. Pada 2010 lalu, banyak ternak milik warga yang mati akibat wedhus gembel. Ada pula warga Kinahrejo yang harus meregang nyawa bersama ternaknya. "Memang, banyak yang tidak beruntung. Mereka tetap tidak mau mengungsi walaupun sudah ada peringatan. Mereka itu takut tinggalkan rumah tanpa harta benda dan ternaknya," tandas Karjono.
Rasa takut kehilangan ternak, sebagai sumber perekonomian, ternyata lebih besar ketimbang rasa takut terhadap terjangan wedhus gembel. Hal ini diakui, Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu.
Menurut Yuni, banyak warga yang menggantungkan hidupnya dari usaha ternak. Warga, seperti Karjono merasa, hilang ternak maka hilang pula gantungan hidup mereka.
"Wajar mas. Pada umumnya sapi itu baru dibeli dari hasil kredit yang diberi pemerintah. Jadi mereka masih berutang dan belum memperoleh hasil," kata Yuni.
Seperti dikatakan Yuni, masyarakat korban Merapi di Sleman pada umumnya bergantung hidupnya pada ternak. Mayoritas dari peternak itu adalah nasabah program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digulirkan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Kantor Wilayah BRI wilayah Daerah istimewa Yogyakarta mencatat, ada sekitar 10.600 debitur yang terdampak akibat erupsi Merapi dengan nominal kredit sebesar Rp 230 miliar.
Karenanya, di saat musibah Merapi itu, BRI pun berinisiatif menyelamatkan ternak dan masa depan Karjono dan kawan-kawan. Caranya, mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengatasi dampak ternak mati akibat letusan Merapi.
Direktur UMKM BRI Djarot Kusumayakti mengatakan, BRI mengeluarkan kebijakan untuk meringankan kredit para peternak. Ini demi menyelamatkan peternak dari ancaman gulung tikar setelah musibah Merapi.
Dengan program itu, pria seperti Karjono bisa bernapas lega. Sembari merangkai puing kehidupannya setelah letusan, Karjono bisa menata kondisi ekonominya untuk bangkit.
Karjono akhirnya bisa melalui tahun-tahun setelah bencana Merapi dengan dukungan keringanan pembayaran kredit dari BRI. Tidak hanya itu, BRI malah memberinya keran pengajuan kredit baru. Ini berlaku bagi seluruh peternak korban Merapi. "Ahlamdulillah ada kemudahan di tengah kesulitan," ucap Karjono.
Langkah antisipasi BRI pasca-Merapi pun mulai tampak hasilnya di tahun 2013. Di saat sejumlah wilayah Indonesia mengalami krisis daging, peternak Sleman eks korban Merapi, seperti Karjono, justru berkibar. Dalam acara kunjungan Menteri Pertanian Suswono pada 6 Maret 2013 lalu, terungkap fakta bahwa Sleman selamat dari krisis daging karena produktivitas para peternak di kaki Merapi.
Kepala Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Peternakan, Kabupaten Sleman, Suwandi Haziz mengatakan, peningkatan populasi sapi di Sleman cukup signifikan. Sekarang ini, ada sekitar 500 ekor sapi yang diperjual belikan setiap harinya.
"Bahkan, peternak bukan hanya bergairah, melainkan, merasa senang karena adanya swasembada sapi ini," kata Suwandi pada Republika usai menerima kunjungan Menteri Pertanian RI, Suswono.
Hal serupa dikatakan seorang peternak asal Ngaliyan, Sosro (50 tahun). Menurutnya, di tengah krisis, peternak Sleman kini malah meraih untung berkali lipat. Harga sapinya saat ini mampu mencapai Rp 14 juta per ekor. Padahal sebelumnya hanya sekitar Rp enam hingga tujuh juta.
Dia juga berharap pembatasan impor bisa lebih ditekan, agar peternak dapat terus diuntungkan. Karena, menurut Sosro, upaya tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi pemerintah terhadap peternak lokal. "Saya bisa menjual harga per kilogram harga sapi hidup per ekornya lebih dari Rp 30 ribu," katanya.
Tidak hanya sapi yang membuat peternak eks korban Merapi berkibar. Produksi susu, khususnya susu kambing, kini membuat wilayah itu bisa bersaing hingga ke mancanegara. Menurut Bupati Sleman, Sri Purnomo, susu kambing dan sapi asal wilayahnya kini sudah menjadi komoditas ekspor.
Produk susu kambing dan Sapi Sleman bahkan menjadi incaran produsen keju dari Italia. Ricardo Sartori, pengusaha keju Italia mengaku kini menggandeng Indonesia sebagai pemasok susu bahan baku pabrik keju. Indonesia menjadi tujuan baru impor susu Italia setelah pasokan dari Suriah tersendat karena kondisi politik yang tidak kondusif.
Walhasil, produk susu kambing dan sapi Sleman kini mulai merambah negeri kelahirannya Andrea Pirlo itu. Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Milan, Sumber Sinabutar, mengatakan, perusahaan keju Italia kini telah memberikan penawaran kepada produsen susu kambing Indonesia untuk menjadi pemasok dengan nilai transaksi sekitar Rp 28 miliar per tahun. Produsen keju Italia membutuhkan tiga sampai lima juta liter susu per tahunnya dari Indonesia.
Dan wilayah Sleman pun siap memenuhi pasar Italia itu. “Pengusaha Italia telah memberikan penawaran untuk memasok bahan baku keju berupa susu kambing. Penawaran itu senilai Rp 28 miliar per tahun, namun nilai tersebut bisa lebih tinggi jika susu bisa diolah terlebih dahulu menjadi keju domba sebelum diekspor ke Italia,” tuturnya kepada wartawan di Jakarta.
Tak pelak peternak Sleman seperti Karjono pun mulai mengalami perputaran nasib. Dari ancaman nyawa melayang, gulung tikar, hingga ancaman kredit macet, peternak Sleman-lah kini justru jadi ancaman bagi eksportir susu lain.
Sementara, di saat perekonomian Indonesia mulai dihantam 'wedhus gembel' berupa krisis ekonomi dunia, peternak Sleman pun mampu bertahan. Mereka malah jadi salah satu tonggak pertahanan ekonomi Indonesia di tengah harga tukar dolar yang terus melambung.
Sebab, lewat susu-susu dari peternak seperti Karjono-lah, neraca ekspor Indonesia terus merangkak. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), aliran devisa hasil ekspor (DHE) yang masuk ke perbankan domestik meningkat di 2013 ini. Hingga akhir triwulan II 2013, aliran DHE melalui bank devisa di dalam negeri secara kumulatif pada periode Januari sampai dengan Juni 2013 meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data BI menunjukkan, DHE yang masuk ke perbankan Indonesia menjadi 64,409 juta dolar AS atau 84 persen terhadap total nilai DHE. Sebelumnya, DHE yang masuk tercatat 62,623 juta dolar AS atau 81 persen terhadap total nilai DHE.
Segala catatan itu jadi bukti bahwa di tengah krisis masih ada harapan kebangkitan ekonomi Indonesia. Kendati persaingan akan semakin meningkat di era bersatunya ekonomi Asean, atau yang dikenal dengan Asean Economic Community (AEC), namun Indonesia boleh percaya diri.
Sebab, peternak seperti Karjono bisa memberi harapan di tengah kerasnya persaingan AEC. Harapan yang setidaknya sudah pernah mereka buktikan dari kaki Gunung Merapi.
Peternak kambing dan sapi itu sudah membuktikan bahwa panasnya wadhus gembel tidak cukup untuk meruntuhkan usaha dan keyakinan mereka. Dan dengan bantuan Kredit Usaha Rakyat BRI, panasnya persaingan regional jelang AEC pun siap dihadapi.
BRI sendiri siap mendukung peternak Sleman dan pelaku usaha mikro kecil dan menegah (UMKM) lain, dengan mempermudah pengajuan kredit. Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali mengatakan, dukungan bagi pelaku UMKM macam Karjono akan semakin ditingkatkan. Salah satu dukungan BRI adalah dengan tidak menaikkan bunga kredit.
Menurut Ali, penyaluran kredit pun tidak akan direm. Sebab, sejumlah UMKM yang berorientasi ekspor, seperti peternak di Sleman, justru sedang menggenjot ekspornya saat ini seiring menguatnya dolar.
"Mereka justru membutuhkan kredit dari bank untuk memproduksi barang-barang ekspor. Ini tentu harus difasilitasi karena ekspor yang meningkat akan mengimbangi defisit neraca pembayaran," ujar Ali.
Dengan bersinergi dengan BRI, peternak seperti Karjono pun siap bangkit dan melaju maju dari kaki Gunung Merapi. Setelah bangkit dari puing-puing bencana, mereka kini siap menatap kejayaan baru di persaingan ekspor susu Asia Tenggara bahkan dunia.