REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Anomali cuaca yang melanda berbagai daerah di Indonesia telah berdampak pada nasib petani garam. Akibat hujan yang kerap turun di musim kemarau ini, para petani garam hanya bisa gigit jari.
''Karena hujan masih banyak, otomatis penggarapan lahan garam belum bisa dilakukan,'' ujar seorang petani garam dari kelompok tani garam Kecamatn Losarang, H Juendi, kemarin. Juendi mengatakan, dalam kondisi normal, penggarapan lahan garam seharusnya sudah dimulai sejak awal Juni lalu. Namun hingga kini, lahan garam masih belum bisa diolah.
Untuk bertahan hidup, lanjut Juendi, para petani garam mengandalkan garam simpanan saat musim panen tahun lalu. Garam tersebut dijual secara bertahap sesuai kebutuhan. ''Tapi karena dijual terus menerus, garam simpanan petani kini sudah mulai habis,'' tutur Juendi.
Meskipun begitu, Juendi mengaku bersyukur karena garam simpanan petani dihargai sebesar Rp 550 per kg. Padahal, saat musim panen raya, harga garam petani biasanya hanya berkisar Rp 300 per kg. ''Harga garam simpanan ini memang dihargai cukup tinggi,'' tutur Juendi.
Juendi menambahkan, penjualan garam simpanan memang hanya bisa dilakukan para petani garam bermodal besar. Sedangkan buruh tani garam, tidak memiliki simpanan garam karena langsung dijual saat panen. ''Mereka jadi alih profesi menjadi buruh tani padi,'' kata Juendi.
Juendi menyebutkan, di Kabupaten Indramayu terdapat tiga titik sentra garam yang saat ini kondisinya sama. Selain di Kecamatan Losarang, sentra garam lainnya terdapat di Kecamatan Kandanghaur dan Krangkeng.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Meteorologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) Stasiun Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Pujiono, menyatakan, anomali (penyimpangan) cuaca diprediksi akan terjadi sepanjang tahun ini. Karenanya, musim kemarau sekarang diikuti dengan curah hujan yang cukup tinggi.