Kamis 18 Jul 2013 15:53 WIB

Vonis Chevron Diharapkan Buka Tabir Industri Migas Asing

A Chevron gas station sign is seen in Del Mar, California, April 25, 2013. Attorney General's Office detains Indonesian general manager of Chevron, Bakhtiar Abdul Fatah, who is suspected involved in corruption case. (illustration)
Foto: Reuters/Mike Blake
A Chevron gas station sign is seen in Del Mar, California, April 25, 2013. Attorney General's Office detains Indonesian general manager of Chevron, Bakhtiar Abdul Fatah, who is suspected involved in corruption case. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID,PEKANBARU--Pengamat dari Duri Institute Agung Marsudi menilai vonis kasus bioremediasi Chevron diharapkan bisa membuka tabir industri minyak dan gas (migas) yang selama ini tertutup, namun tidak luput dari kesalahan.

"Vonis kasus bioremediasi akan menjadi yurisprudensi dan menjadi awal penanganan dugaan pelanggaraan dalam industri migas yang belum terungkap," kata Agung kepada Antara di Pekanbaru, Riau, Kamis.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp100 juta terhadap tersangka Kukuh Kertasafari dalam kasus korupsi pemurnian tanah dari limbah minyak atau program bioremediasi.Program itu dijalankan Chevron pada 2006 dan 2011 menggunakan metode dengan mikroorganisme untuk mengurai tanah yang tercemar limbah minyak.

Majelis Hakim menilai Kukuh terbukti bersalah karena keliru dalam menentukan 28 area pelaksanaan bioremediasi yang dipermasalahkan. Terdakwa Kukuh menetapkan lokasi yang salah tanpa pemeriksaan yang layak, dan itu terungkap setelah adanya temuan dari tim ahli dari Kejaksaan Agung bahwa banyak area tidak seharusnya dinyatakan terkontaminasi.

"Alasan hakim sudah tepat karena Duri Institute juga menemukan banyak kejanggalan dalam pentuan lokasi yang sangat tertutup. Pihak subkontraktor dalam pengambilan sampel selama ini tidak mengikutsertakan aparat pemerintah seperti Lurah dan Kecamatan, sehingga semuanya serba tertutup termasuk juga dalam penentuan lokasi dan nilai ganti rugi," ucapnya.

Menurut dia, penanganan kasus itu sudah tepat dibawa ke kasus pidana karena bukan semata karena pelanggaran kontrak. Kasus tersebut masuk ke ranah pidana korupsi, karena pemerintah telah melakukan "reimburse" biaya yang diklaim oleh Chevron melalui skema "cost recovery".

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement