Selasa 16 Jul 2013 18:48 WIB

Bangunan Pelarian Soekarno di Wirobrajan, Belum Berstatus Cagar Budaya

Rep: Yulianingsih/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bangunan yang disinyalir tempat pelarian mantan Presiden RI Soekarno di Jalan Patangpuluhan 22 Wirobrajan Yogyakarta, ternyata belum terdaftar sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).

Rumah yang selesai di bangun pada 1938 ini marak dipromosikan melalui internet akan dijual. Bangunan yang disinyalir pernah dihuni Sukarno ini dijual dengan harga Rp 5 juta meter dengan luas lahan 4.712 meter persegi.

Wahyu Astuti, Kasie Perlindungan dan Pengembangan Pemanfaat BPCB Kota Yogyakarta, mengatakan, bangunan tersebut belum ditetapkan sebagai BCB. "BCB itu bisa dijual tetapi ini belum masuk BCB. Kami baru akan mendokumentasikan bangunan fisiknya dulu," ujarnya saat meninjau bangunan yang santer diberitakan di internet karena masuk BCB dan akan dijual tersebut.

Meski belum masuk daftar BCB namun menurut dia, dari sisi usia bangunan dan gaya arsitektur bangunanya, rumah tersebut bisa masuk klasifikasi BCB. Apalagi kata dia, jika memang benar dari sisi historisnya bangunan itu pernah di huni mantan Presiden Soekarno.

Jika bangunan tersebut masuk BCB kata dia, maka pemiliknya akan memperoleh intensif dari pemerintah untuk pemeliharaan. Jumlah intensif terebut sekitar Ro 8-10 juta setiap tahunnya.

Selain itu kata dia, pemilik juga memperoleh keringanan pajak dari pemerintah. Dari sisi sejarah kata dia, bangunan megah ini milik Purbodiningrat, bangsawan yang mendesain ulang Tamansari.

"Kita baru melakukan pendataan, kalau nanti ditentukan sebagai BCB itu ada tim tersendiri yang menilai," katanya menerangkan.

Sementara itu ahli waris bangunan tersebut, Siti Ismusilah (80) yang merupakan anak keempat Purbodiningrat mengatakan, ayahnya merupaka cucu dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

"Kita tidak tahu kalau rumah kami ditawarkan dijual secara online. Tetapi memang banyak yang menawar untuk membeli," ujarnya.

Meski banyak nilai sejarahnya kata Siti, pihaknya justru tidak ingin bangunan peninggalan ayahnya ini dijadikan BCB. "Kita tidak mau jadi BCB, karena tidak bisa menjadi hak milik dan tidak bisa dijual dengan mudah. Kita juga tidak mendapat apa-apa," katanya.

Menurut dia, jika rumah milik ayahnya tersebut dijadikan BCB justru akan menjadi beban bagi ahli waris. Bahkan kata dia, saat ini dirinya harus membayar pajak bumi dan bangunan rumah tersebut sebesar Rp 17 juta setiap tahunnya. "Saya sudah meminta keringanan pajak dua kali karena dulu PBB hanya Rp 8 juta saja," katanya menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement