REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA—Setidaknya tiga kali sudah laki-laki paruh baya itu mondar-mandir keluar masuk arena pameran di hari pertama penyelenggaraan Art Jog 2013 itu.
Setiap kali, selalu saja perhatiannya terpacak lama di dua karya pelukis muda. Pada dua karya yang tergantung berjauhan itu, tak jarang dahinya berkernyit seolah tengah mencari sesuatu, sebelum tanpa sadar menggeleng dengan kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan.
Lelaki itu memang menarik perhatian banyak peminat seni yang datang ke arena pameran seni rupa terkemuka itu. Tidak hanya karena rambut yang sepenuhnya perak, yang membedakannya dari ratusan pengunjung lain.
Rambut itu pula yang membuatnya cepat dikenal warga Yogya yang dilewatinya sepanjang jalan kaki dari Hotel Melia Purosani ke Taman Budaya sepanjang kurang lebih 500 meter itu. Beberapa kali Hatta harus berhenti dan mengobrol beberapa kalimat dengan warga pejalan kaki yang menyongsongnya, mengajak bersalaman.
Hatta tampak menikmati perjalanan singkat itu. Rasa senang itu pun menghias wajahnya saat malam itu didaulat untuk membuka pameran bergengsi yang menarik banyak kurator terkemuka luar negeri itu.
“Sudahlah, Pak Hatta, ambil saja!” kata pelukis Nasirun, dengan nada menggoda. Hatta Rajasa, lelaki yang terus bolak-balik itu, terkekeh sebentar sebelum akhirnya mengiyakan. Kepada seorang panitia Hatta kemudian memesan lukisan berjudul ‘Pekerja’ karya pelukis Budi Ubruk tersebut. Sementara lukisan satunya, ‘Opera Rakityat’, karya Aan Arief Rahmanto, sampai malam itu masih dipertimbangkannya untuk dibeli.
“Saya terkesan pada lukisan ini,” kata Hatta. Itu sebabnya Menko Perekonomian yang juga dikenal sebagai penikmat dan kolektor lukisan itu sampai memerlukan tiga kali mendatangi kedua lukisan tersebut. Kali pertama, segera setelah didaulat membuka pameran.
Tak cukup dengan waktu yang disediakan terbatas itu, Hatta kembali menyambanginya setelah keluar sebentar untuk mencari udara segar.
Belum cukup membuatnya memutuskan memesannya atau tidak, setelah makan malam bersama para undangan lain, bersama Ibu Okke, sang istri yang memiliki minat sama, Hatta bergegas menyelinap kembali ke ruang pameran. Pelukis Nasirun yang tampaknya lama memperhatikan sikap Hatta, ikut mengejar di belakang.
Wajar bila Hatta tertarik dengan ‘Opera Rakityat’. Lukisan itu menggambarkan sebuah rakit penuh sesak penumpang berbeda umur berlainan kelamin, yang tengah melawan gelombang samudera. Layarnya sudah robek-robek tersapu terjangan angin topan.
Tetapi mereka yang berada di rakit tampak sabar, mencoba tidak tenggelam. Tubuh para penumpang itu digambarkan liat, kenyal, dengan otot dan urat bertonjolan. Sementara ‘Pekerja’ yang langsung dipesannya melukiskan orang-orang berbadankan Koran. Menariknya, tak sengaja, salah satu koran itu bergambarkan Hatta Rajasa di salah satu aktivitas kenegaraannya.
Malam itu Hatta tampak sumringah. Kesan kebahagiaan seorang penikmat seni menerima sekian banyak santapan buat rohaninya dengan gampang terlihat, meski pancaran lelah juga tercermin di wajahnya.
“Menyenangkan, bisa melakukan tugas sekaligus menikmati hobi,” kata Hatta. “Karena istri saya pun punya hobi yang sama, ya jadi lebih menyenangkan lagi karena bisa datang bersama.”
Bukan berarti keduanya selalu sepakat. Seperti juga malam itu. Ketika Ibu Okke sangat terkesan pada karya perupa Agus Suwage, berjudul ‘Menghidangkan Mitos’ yang menurutnya penuh magis, Hatta tak sependapat.
"Itu hanya kepiawaian pelukis. Tekniknya canggih,' kata Hatta. Karya seni. Sendiri itu berupa potongan-potongan lukisan tokoh mitos Nyi Roro Kidul yang dipajang tersebar. “Nggak, Pak," tukas Ibu Okke, " Rasa merinding yang saya rasa saat memandang sorot matanya lain, kok."
Hatta masih sempat mendebat lagi pernyataan istrinya. Namun tiba-tiba lampu langsung padam dan mengakhiri diskusi itu. Baik Hatta maupun Ibu Okke tak lagi melanjutkan diskusi mereka ketika semenit kemudian listrik kembali menyala.
Kepada wartwan Hatta sempat bercerita, setiap kali dirinya datang ke suatu Negara, ada tiga tempat yang menjadi prioritasnya untuk didatangi. Ketiganya adalah museum, gedung kesenian, dan perpustakaan. Kalau pun tidak ketiganya karena keterbatasan waktu, salah satu pasti akan mereka datangi.
“Museum itu mencerminkan ketinggian peradaban negara tersebut. Sementara, seni dan budayalah yang kemudian menjadi puncak-puncak suatu peradaban,” kata Hatta.
Kedua suami istri itu kemudian menuntaskan malam Minggu di Alun-alun Utara Yogyakarta, lesehan di sebuah warung mie rebus. Seorang pengamen serta merta datang menyapa Hatta. Ternyata keduanya telah lama saling kenal.
“Saya dan rombongan tahun lalu membelikan sebuah gitar,” kata Hatta, berbisik. Alhasil, mie rebus, kopi, wedang ronde dan lain-lain pun lebih lancar masuk perut dengan iringan petikan gitar sang pengamen. Suara music, entah mengapa, ternyata juga membuat obrolan lebih lancar.
Malam itu terasa lebih semarak karena kehadiran komikus Ismail ‘Sukribo’ yang membawa suasana jenaka dengan candaan-candaannya