REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra
Di balik keindahan Desa Ranu Pani, tersimpan bahaya mengancam. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Danau Ranu Pani berpotensi dapat mengganggu kehidupan sekitar 2.000 warga yang mendiami kawasan tersebut. Laju sedimentasi yang sangat cepat membuat luasan danau ini terus menyusut. Dari luas semula satu hektare lebih, kini diperkirakan tinggal 0,75 hektare.
Kalau dibiarkan bukan tidak mungkin danau yang terletak di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ini bisa hilang. Padahal, keberadaan danau ini sangat vital bagi masyarakat Suku Tengger yang mendiami kawasan itu.
Selain menyebabkan habibat asli terganggu, keberadaan danau juga terancam mengalami kekeringan akibat berkurangnya debit air pada musim kemarau. Kalau tidak segera ditangani, danau yang berfungsi sebagai tempat penampungan air ini bisa meluap ketika musim penghujan tiba lantaran kapasitasnya yang semakin mengecil.
Dari sekitar 50 ribu hektare luas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), warga menguasai lahan sekitar 400 hektare. Kelangsungan Danau Ranu Pani yang dikelilingi perbukitan mulai terganggu akibat alih fungsi lahan. Kurangnya pemahaman atas pemanfaatan lahan membuat bukit hijau yang ditumbuhi pepohonan berganti menjadi ladang sayuran.
“Tanah di perbukitan yang subur sangat gembur, sehingga mudah terbawa turun ke danau,” kata Kepala Balai Besar TNBTS Ayu Dewi Utari kepada Republika, belum lama ini. Sebagai perbandingan, 300 meter ke utara terdapat Danau Ranu Regulo yang kondisinya relatif baik karena area perbukitan masih alami. Meski juga mengalami sedimentasi, namun ancamannya tidak sebesar Danau Ranu Pani.
Masalah mendasar
Ranu Pani adalah desa terakhir bagi pendaki yang ingin menuju puncak Gunung Semeru. Kawasan ini termasuk ke dalam TNBTS yang ditetapkan sebagai hutan konservasi. Desa yang dihuni Suku Tengger ini berada di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut (dpl).
Suku Tengger merupakan keturunan asli masyarakat Jawa yang hidup di era Kerajaan Majapahit pada enam hingga delapan abad lampau. Karena sudah mendiami kawasan ini secara turun-menurun, warga tetap mendapat keistimewaan bisa menggarap lahan miliknya. Sayangnya, kurangnya pemahaman warga dalam memanfaatkan lahan berdampak terhadap kelangsungan debit air danau.
Sebenarnya, ada tiga persoalan mendasar mengapa Danau Ranu Pani mengalami penyempitan. Harus diakui, pembukaan perbukitan sebagai lahan pertanian menyebabkan terjadinya erosi. Pepohonan besar diganti dengan tanaman bawang merah, kentang, kubis, dan wortel yang tak bisa diandalkan untuk menahan pengikisan tanah.
Dampaknya, tanah di perbukitan tidak lagi keras. Setiap saat, khususnya pada musim hujan, terjadi pengikisan tanah yang terbawa turun hingga mengendap di danau. Masalah sampah dan berkembangnya tanaman paku air (salvinia molesta) juga turut menyumbang penyempitan luasan danau.
Banyaknya pendaki maupun pengunjung yang dengan seenaknya membuang sampah, serta menyebarnya tanaman gulma membuat danau yang tersohor keindahannya ini mengalami degradasi. Belum lagi terbawanya sisa pupuk dan sampah organik dari ladang milik warga turut mempercepat kerusakan lingkungan.
Menumpuknya beragam limbah itu konsekuensinya membuat kedalaman danau semakin berkurang. Air danau tidak lagi jernih seperti beberapa tahun lalu ketika saya berkunjung ke sini. Lumpur yang mengendap di dasar danau membuat air berwarna kecoklatan.
Balai Besar TNBTS yang memiliki kewenangan untuk mengelola hutan lindung juga kurang bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Nyatanya, penyelamatan lingkungan tidak berjalan maksimal. Terbukti, cakupan air danau terus menipis dari waktu ke waktu. “Lima tahun lalu, kedalaman Danau Ranu Pani mencapai 12 meter. Sekarang, di tengah danau kedalamannya hanya tujuh meter,” kata Ayu Dewi.
Karena semakin dangkal, perahu milik petugas Balai Besar TNBTS tidak lagi beroperasi. Dermaga yang dibangun di belakang Pos Pendakian Ranu Pani itu terkesan tidak terawat. Biota, seperti burung belibis yang sekitar 10 tahun lalu masih menjadi penghuni Danau Ranu Pani, sekarang tidak terlihat lagi. Hanya tersisa dua ekor angsa putih milik warga yang setiap harinya terlihat hilir mudik mengitari danau.
Di pinggiran danau sepanjang tiga meter banyak ditumbuhi ilalang, yang dulunya tanah itu masih terendam air danau. Padahal, ketika itu sudah memasuki musim penghujan. Bahkan, di sisi barat danau yang dekat dengan permukiman warga, terbentuk sebuah lapangan sepak bola mini seluas dua kali lapangan voli. Kondisi itu dimanfaatkan warga untuk membuka warung sederhana.
Melihat laju penyempitan danau yang terasa cepat, membuat Ayu Dewi harus bertindak lebih sigap untuk menyelamatkan danau ini. Kebijakan itu harus dilakukan untuk menyelamatkan hutan primer dengan tidak merugikan masyarakat. Pasalnya, kalau mengandalkan metode konvensional dengan mengeruk lumpur dari dalam danau tidak sebanding dengan laju sedimentasi yang cepat.
“Kalau kita tidak bergerak menggandeng masyarakat untuk berkejaran dengan alam, nanti danau ini bisa saja kering dan menghilang,” katanya. Ia melanjutkan, “Intinya, sedang dikaji opsi untuk mengharmoniskan taman nasional dan pariwisata dengan melibatkan masyarakat.”
Solusi
Kepala Seksi Konservasi Balai Besar TNBTS Wilayah Ranu Pani, Sucipto menekankan, masalah penyempitan luas Danau Ranu Pani hanya bisa diselesaikan dengan penghijauan. Gerakan reboisasi tentu saja harus dilakukan bersama dengan masyarakat secara sistematis dan berkelanjutan.
Untuk itu, pihaknya terus melakukan edukasi agar kesadaran terhadap lingkungan semakin tumbuh di kalangan warga. Sucipto tidak kurang-kurang memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk berperan aktif menjaga alam. Meski warga sudah berkontribusi lebih, seperti membuat bank sampah, namun penumbuhan edukasi untuk memaksimalkan potensi alam masih perlu ditingkatkan.
Dia sadar, penghasilan utama warga adalah dari berladang. Uang yang didapat dari hasil panen sayuran itu lah yang digunakan warga untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. “Di situ lah letak masalahnya. Tidak sedikit bukit yang ditanami warga berdampak terhadap kelangsungan Danau Ranu Pani,” katanya.
Ia mengakui, tidak memiliki kewenangan untuk melarang masyarakat agar tidak menanam sayuran di lahan miliknya. Hanya saja, sangat mendesak direalisasikan gerakan mengembalikan fungsi lahan seperti semula agar agar erosi dapat dicegah atau setidaknya diminimalisasi.
Caranya, saran dia, adalah mengubah jenis tanaman yang sekiranya tetap menghasilkan, dan bisa disandingkan dengan pepohonan besar. Tentu saja hal itu tidak serta-merta disetujui karena warga takut kehilangan penghasilan. Untuk mengantisipasi hal itu, Sucipto sudah menyiapkan ide mengubah tatanan kawasan di sekitar Ranu Pani menjadi kawasan ecotourism alias kegiatan pariwisata berbasis lingkungan.
“Kami ingin agar desa ini menjadi tempat wisata. Tidak seperti sekarang, wisatawan yang ingin ke Ranu Kumbolo dan puncak Semeru hanya numpang lewat saja,” ujarnya.
Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Basah Hernowo, menilai rencana pengerukan danau bukan menjadi solusi satu-satunya untuk mengatasi pendangkalan. Ia menyarankan, persoalan di hulu harus diatasi terlebih dulu dengan mengembalikan fungsi lahan.
Karena kalau persoalan sedimentasi bisa dikendalikan, baru proses pengerukan danau bisa dilakukan secara maksimal. Menurut dia, sudah saatnya masyarakat mulai memikirkan ancaman kekeringan air danau. Karena kalau sampai danau yang berfungsi sebagai tadah air hujan ini sampai mengering, dapat dipastikan sumber air lain bakal mengikuti.
Ia berharap, kasus hilangnya Danau Ranu Darungan yang mengering karena faktor musim kemarau yang berkepanjangan dan akibat ulah warga yang tak bisa menjaga lingkungan di sekitarnya, tidak dialami Danau Ranu Pani. “Pengerukan lumpur dan pengembalian fungsi hutan menjadi cara satu-satunya mencegah Danau Ranu Pani agar nantinya tidak kering,” kata Basah.
Rencana itu mendapat dukungan penuh dari Karang Taruna Sadar Wisata Ranu Pani. Salah satu anggota karang taruna, Hermanto menyetujui ide menjadikan desanya sebagai kawasan wisata. Selain dapat menyelamatkan Danau Ranu Pani dari ancaman kekeringan, juga bisa menjadi alternatif penghasilan warga ketika jalur pendakian ditutup.
Selama ini, selain dari hasil pertanian, warga banyak menggantungkan pendapatan dengan menjadi porter (pengangkut barang) pendaki. Hanya saja, ia menyangsikan gagasan itu segera terwujud lantaran sudah beberapa kali mendengar wacana serupa. “Kita tunggu realisasinya.”
Yudi Irwanda, pemandu wisata lokal, menyatakan potensi pengembangan Danau Ranu Pani sangat besar apabila digarap secara maksimal. Selain menawarkan keindahan alam yang sulit ditandingi, topografi yang berada di antara perbukitan membuat danau sangat layak untuk dinikmati wisatawan. Pihaknya menjamin warga sangat terbuka untuk bersama-sama menyelamatkan kerusakan lingkungan di Danau Ranu Pani.
Tapi, dengan tidak membolehkan warga menanam sayuran, tanpa ada sumber pemasukan lain sama saja menciptakan persoalan baru. Yang pasti, pihaknya menginginkan kelestarian danau tetap terjaga, tanpa merugikan warga. “Masalah sarana dan infrastruktur pendukung untuk menjadikan Ranu Pani sebagai kawasan wisata juga perlu dipikirkan,” saran Yudi.