REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Banyak pengusaha mendompleng merek produk terkenal sehingga merugikan pemegang merek.
Hal itu diungkapkan Kepala Seksi Sertifikasi Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Luther Pasande di Batam, Rabu (3/7).
"Masih banyak pengusaha yang suka menggunakan merek-merek yang sudah dipakai orang lain. Atau setidaknya membuat merek yang hampir-hampir sama dengan produk yang sudah ada," kata dia di Batam sesaat setelah menjadi narasumber dalam sosialisasi mengenai Hak Paten dan Hak Kekayaan Intelektual di Badan Pengusahaan Batam, Rabu.
Luther mengatakan, hingga saat ini banyak pengusaha yang belum tahu cara mengurus hak paten sehingga merek yang digunakan juga dipakai pada produk lain.
"Merek sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual yang menjadi aset bisnis. Maka pengusaha harus memahami dan mematenkan produk mereka," kata Luther.
Bagi pengusaha yang menggunakan merek tertentu namun tidak mematenkan produk merekak, kata dia, tidak bisa menuntut jika ada pengusaha baru dan menggunakan nama tersebut dan mematenkannya.
"Merek yang telah terdaftar akan mendapat perlindungan selama 10 tahun dari Direktorat merek sejak pemberian sertifikat. Perlindungan merek juga dapat diperpanjang, diwarisi dan dijual dengan cara pengalihan hak. Asal ada perjanjian di kedua belahpihak. Pada intinya yang mendaftarkan pertama yang akan mendapatkan hak atas merek tersebut," kata dia.
Ia mengatakan proses pengurusan agar bisa mendapatkan merek memang membutuhkan waktu cukup lama karena direktorat merek memastikan terlebih dahulu usaha yang memiliki merek yang sama.
"Kepengurusannya 1 tahun. Jika tak ada keberatan maka sertifikat akan kami keluarkan. Namun jika ada yang keberatan, maka akan kami sidang ulang yang mengeluarkan biaya keberatan sekitar Rp500 ribu," kata Luther.
Ia mengatakan dengan adanya HKI dapat mendorong perubahan ekonomi dan meningkatkan kualitas manusia dengan memberikan kebutuhan masyarakat secara luas.
"Saat ini juga perlu perbuahan sifat masyarakat yang berorientasi statis (pertanian) ke dinamis (industri) dan mengarah kepada budaya bisnis yang kompetitif," kata dia.