Senin 01 Jul 2013 19:23 WIB

Tahun Politik, Polisi Diminta Maksimalkan Intelijen dan Bimas

Rep: Wahyu Syahputra/ Red: Djibril Muhammad
Ketua Presidium IPW Neta S Pane
Ketua Presidium IPW Neta S Pane

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi mengantisipasi mungkinnya kerusuhan di tahun politik 2013-2014, polisi diimbau untuk mengkonsolidasikan diri dengan jajaran intelijen dan Bimas.

Pengonsolidasian ini merupakan pemaksimalan jajaran tersebut untuk mendeteksi dan antisipasi dini kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan sepanjang tahun politik tersebut.

Ketua Presidium Indonesian Police Wacth (IPW), Neta S Panemengungkapkan tantangan Polri ke depan cukup berat, yakni menjaga kamtibmas dari berbagai konflik dan kerusuhan. "Aksi demo menolak kenaikan harga BBM yang terjadi di 62 kota patut menjadi perhatian," katanya, Senin (1/7).

Menurut Neta, dalam catatan IPW sepanjang 2012, situasi kamtibmas tergolong rawan. Berbagai konflik dan kerusuhan terjadi, mulai dari Aceh sampai Papua yang menyebabkan 154 tewas dan 217 luka.

Konflik terjadi mulai dari bentrok antarkampung, aparat dengan warga, antar aparat keamanan, perkelahian pelajar, bentrokan mahasiswa sampai ulah suporter sepak bola.

Maka, tahun 2013-2014 mendatang, bukan mustahil konflik ini kian meluas, jika Polri tidak segera berbenah. "Jika itu terjadi kepercayaan publik terhadap Polri akan kian rapuh," katanya.

Neta mengatakan, IPW menyatat ada enam faktor terjadinya krisis keamanan yang membuat kepercayaan masyarakat pada Polri tidak pernah terbangun.

Faktor tersebut ialah, kontrol atasan yang sangat lemah, adanya target ambisius dari atasan, bawahan cenderung cari muka, tidak ada tolok ukur yang jelas dalam rotasi tugas, tidak ada sanksi pemecatan pada perwira tinggi bermasalah, dan gaya hidup hedonis yang makin membudaya di kepolisian.

Neta melanjutkan, meskipun Polri sudah memperoleh renumerasi, upaya membenahi sikap, perilaku dan kinerja anggotanya, terutama jajaran bawah, masih saja belum maksimal. Perubahan pola pikir di jajaran atas belum terjadi.

Jajaran elite Polri cenderung larut dengan pencitraan, seperti slogan anti-KKN di spanduk sudut jalan atau di depan Mabes Polri. Namun, KKN masih tetap terjadi di segala lini di Polri.

Ini dihubungkan dengan terkuaknya kasus Simulator SIM yang menjadi sebuah tamparan bagi slogan anti-KKN di Polri. Kasus ini menunjukkan tidak ada keinginan yang kuat untuk membenahi KKN di Polri.

Akibatnya, keinginan Polri untuk mendapat kepercayaan masyarakat tidak pernah terwujud. "Masyarakat selalu menilai polisi sulit untuk bisa dipercaya," katanya.

Padahal, yang diinginkan masyarakat dari Polri hanya dua hal, yakni polisi senantiasa bersikap adil dan polisi dapat memberi kepastian hukum serta adanya jaminan keamanan.

Artinya, dalam menjalankan tugas, polisi senantiasa bersikap adil dan dapat memberi kepastian waktu dalam menyelesaikan sebuah masalah. Sehingga masyarakat tidak merasa diombangambingkan setiap kali berurusan dengan polisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement