REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Meski Pemerintah Kota (pemkot) Bandar Lampung telah menurunkan tarif angkutan kota (angkot) sebesar 25 persen, namun para sopir angkot tetap bertahan menaikkan ongkos 50 persen dari Rp 2.000 menjadi Rp 3.000 per penumpang jauh-dekat.
Penumpang keberatan, kenaikan ongkos 50 persen yang terjadi di lapangan karena tidak mematuhi keputusan wali kota. Pantauan Republika pada angkot berbagai trayek di kota Bandar Lampung, Kamis (27/6), kendaraan angkot dalam kota sudah menempelkan kertas berisi tarif ongkos baru.
Tarif tersebut naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 3.000 per penumpang. Tidak ada yang menempelkan hasil keputusan rapat forum lalu lintas tentang penetapan tariff angkutan umum yang sudah dilakukan pada Selasa (25/6).
Dalam rapat sebelumnya, memang telah diputuskan kenaikan Rp 1.000 yakni dari Rp 2.000 menjadi Rp 3.000. Namun, wali kota merevisi kenaikan ongkos angkot menjadi Rp 2.500 bukan Rp 3.000. Sedangkan tarif pelajar tidak ada perubahan yakni Rp 2.000 sebelum kenaikan BBM hanya Rp 1.000.
Sekretaris Kota Bandar Lampung Badri Tamam, mengatakan, perubahan atau revisi tarif sudah persetujuan Disnas Perhubungan dan Persatuan Pemilik dan Pengemudi Angkot Bandar Lampung (P3ABL). “Revisi ini sudah disetujui kedua pihak,” katanya.
Ia mengatakan, revisi ini berdasarkan kenaikan tarif angkutan menurut Pemprov Lampung berkisar 20-30 persen, sedangkan Kemenhub malah 15-20 persen. Sehingga, ia mengatakan bila ada kenaikan ongkos menjadi 50 persen, berarti telah melanggar ketentuan yang ada.
Perubahan tarif angkot ini ternyata tidak berlaku di lapangan. Sopir angkot dengan enaknya menetapkan ongkos Rp 3.000 per penumpang jauh-dekat. Padahal, pemkot menentukan hanyar Rp 2.500 per penumpang. Alasan sopir angkot, tarif Rp 2.500 sangat ganjil susah untuk mencari kembaliannya.
“Kembalian Rp 500 itu susah carinya, jadi genapkanlah Rp 3.000 saja,” ujar Toto, sopir angkot Kemiling-Tanjungkarang.
Ida, warga Tanjungkarang Barat, mengaku keberatan dengan ongkos baru Rp 3.000. Menurut dia, kenaikan 50 persen tidak memikirkan kebutuhan masyarakat yang sekarang bahan pokok sudah naik, menjelang mau masuk sekolah, dan bulan puasa.