REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan terbaru kasus Flu Burung H7N9 di Cina menunjukkan tidak adanya bukti burung liar berperan dalam transmisi virus.
Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Prof dr Tjandra Yoga Aditama dalam keterangan tertulisnya yang diterima ROL, Kamis (27/6).
Data sampai saat ini, kasus terakhir yang dilaporkan tanggal 28 Mei 2013 yang diperoleh melalui surveilens rutin ILI (Influenza-Like llness) di Beijing terdapat 132 kasus dan 39 orang meninggal; empat klaster konfirmasi; satu infeksi tanpa gejala (asymptomatis); 2000 kontak yang dipantau: 2-139 per kasus.
Selanjutnya dari sisi pertanian/peternakan: sebanyak 900.000 sampel diperiksa dari 42.250 peternakan dan positif rate nya sangat rendah (0.003%), tidak satupun positif pada babi. Hanya 18 dari 7.264 yang diperiksa positif untuk H7 (diambil dari swab ayam dan lingkungan); sebanyak 570,942 burung dimusnahkan.
Menurut Prof Tjandra, pemerintah Cina telah menutup provinsi yang terjangkit. Hal ini terbukti dapat mempercepat mengurangi kasus infeksi pada manusia.
Virus ini merupakan rekombinasi dari virus H7N3, H7N9, H9N2 dan H9N2. Apabila dibandingkan antara H7 dengan H5 pada kasus manusia: rata-rata usia 62 tahun pada H7 dan usia 25 tahun pada H5.
Selanjutnya, kata dia, pada H7N9 sebanyak 45 persen mempunyai riwayat penyakit lain yang mendasarinya, sedangkan pada H5N1 riwayat penyakit lain yang mendasarinya hanya 12 persen.
Pada pemeriksaan di laboratorium menunjukkan bahwa virus H7N9 yang ditemukan di manusia lebih mudah menginfeksi pada sel bronkus dibandingkan dengan H5N1. H7N9 mayoritas sensitif terhadap obat oseltamivir.