Senin 24 Jun 2013 19:58 WIB

Soal Domisili Calon Anggota DPD, Pembuat UU Dinilai Abaikan Putusan MK

Rep: Ira Sasmita/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
KEDUDUKEDUDUKAN DPD. Gedung Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Usai putusan MK, DPD kembali memiliki peran legislasi setara dengan DPR.
Foto: SETKAB.GO.ID
KEDUDUKEDUDUKAN DPD. Gedung Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Usai putusan MK, DPD kembali memiliki peran legislasi setara dengan DPR.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembuat Undang-Undang dinilai abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat domisili calon anggota DPD.

Melalui putusan  MK Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 UU 10/2008.

"Calon anggota DPD memang harus berdomisili di provinsi yang diwakilinya. Tapi pembuat UU berbeda, tidak merujuk pada putusan MK," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, di Jakarta, Senin (24/6).

Artinya, lanjut Titi, saat membuat UU Pemilu nomor 8 tahun 2012, DPR dan pemerintah masih merujuk pada UU yang lama. Padahal pada Juli 2008 telah diterbitkan putusan MK tersebut.

Tetapi, atas pengabaian putusan MK tersebut, menurut Titi kesalahan tidak bisa dilimpahkan pada calon anggota DPR. Karena mereka memenuhi persyaratan sesuai dengan UU Pemilu nomor 8 tahun 2012.

"Mereka tidak bisa dipersalahkan, dan pencalonannya tidak bisa dibatalkan," ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan syarat domisili calon anggota DPD telah ditolak di MK. Sehingga dalam perumusan UU nomor 8 tahun 2012, syarat domisili tetap ditetapkan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

"Putusan MK memang harus ditindaklanjuti, dalam aspek lesgislasi salah. Tapi dalam aspek substansi tidak apa-apa, publik lebih paham UU dibanding putusan MK," ujarnya.

Arif mengatakan putusan MK memang harus dipertimbangkan supaya aspek konstitusionalitasnya terpenuhi. Tetapi bisa saja dilewatkan, atau putusan MK ditindaklanjuti dengan perubahan UU. Putusan MK juga harus dilihat dan ditafsirkan terlebih dahulu.

Anggota DPD, menurut Arif, tidak harus berdomisili di wilayah yang dia wakili. Karena upaya anggota untuk memperjuangkan kepentingan rakyat tidak semata-mata untuk wilayah yang dia wakili. Lagi pula, daerah-daerah di Indonesia memiliki karakteristik dan persoalan yang hampir mirip.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement