REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sampai saat ini di DIY ditemukan 14 kasus MDR (Multy Drugs Resistance) Tuberkulosis (TB) atau resisten terhadap obat TB.
Dengan demikian mereka harus menjalani pengobatan TB lebih lama lagi yakni selama dua tahun dan enam bulan pertama pengobatan dengan suntikan, lalu selama 1,5 tahun pasien harus mengonsumsi obat oral secara berkelanjutan, tidak boleh berhenti.
Hal itu dikemukakan Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DIY Daryanto Chadorie pada Republika, Kamis (20/6). Angka estimasi MDR sekitar tiga persen dari BTA (Basil Tahan Asam) positif.
"Di DIY dari sekitar 220 BTA positif ada 13 yang MDR TB. Sejak 2012 di DIY ada profram baru yakni membentuk PPM (Public Privat Mix) praktik dokter swasta bekerja sama dengan asosiasi Ikatan Apoteker Indonesia tetapi di tiga kabupaten yakni Gunungkidul, Sleman dan Bantul," kata dia.
PPM ini, dia menambahkan, untuk mendorong keterlibatan swasta dalam penggunaan obat TB secara kontinyu untuk pengendalian TB di praktek swasta yang dilakukan pengawasan oleh apoteker di apotek swasta.
"Di sini Dokter Praktek Swasta atau Puskesmas mengambil obat di apotek yang ditunjuk dan satu kabupaten ada satu apotek swasta," bebernya.
Apoteker di apotek swasta tersebut melakukan pemantauan. Apabila pada saatnya pasien tidak mengambil obat, maka dilaporkan ke wasor. Di setiap kabupaten ada dua petugas wasor.
Pemeriksaan dan pengobatan untuk pasien yang mengalami MDR TB untuk sementara itu hanya bisa dilakukan di RSUP Dr Sardjito. Untuk memastikan apakah seseorang mengalami MDR TB atau tidak harus dilakukan pemeriksaan di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran UGM.
Lebih lanjut Daryanto mengatakan penyebab MDR TB adalah karena pasien TB tidak patuh dalam mengonsumsi obat. "Biasanya baru tiga bulan minum obat kemudian tidak minum obat lagi. Padahal agar seseorang sembuh dari penyakit TB harus mengonsumsi obat selama enam bulan berturut-turut," katanya menjelaskan.