REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menkumham Amir Syamsuddin menandatangani perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Papua Nugini. Penandatangan disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Papua Nugini Peter Charles Paire O`Neill.
Amir mengatakan, adanya perjanjian ekstradisi tersebut akan semakin mengefektifkan `mutual legal assistance` (MLA) antarkedua negara. "Terutama sekali itikad baik kedua negara, karena tanpa perjanjian pun kalau ada hubungan baik, bilateral itu selalu bisa (melalui MLA). Dengan adanya perjanjian itu lebih memudahkan kita melakukan ekstradisi, siapa pun," katanya, Senin (17/6).
Menurutnya, dengan adanya perjanjian ekstradisi, pemerintah Indonesia atau Papua Nugini bisa lebih luwes untuk mengajukan surat MLA dan meminta pemulangan aset mau pun sosok yang sedang dicari. Dengan perjanjian itu, pelayanan bidang hukum kedua negara bisa lebih mudah dilakukan.
Hanya saja, Amir mengatakan pemerintah masih butuh waktu agar proses dan tindaklanjut dari perjanjian itu benar-benar konkret untuk waktu ke depan. Ia pun mengharapkan agar tahun ini bisa diefektifkan.
"Ada lampu hijau bagi Indonesia untuk melakukan ekstradisi. Yang penting MoU itu. Untuk efektifnya biasanya butuh waktu," katanya.
Amir enggan menyebut nama sosok yang mungkin segera diminta ekstradisi. Termasuk menyebut nama Djoko Tjandra yang belum bisa dipulangkan ke Tanah Air. Yang jelas, ekstradisi itu bisa diberlakukan untuk semua orang dan aset yang hendak dimintakan negara.