Jumat 07 Jun 2013 18:51 WIB

Pengamat: Konflik PKS dan Demokrat Itu Lumrah

Rep: Ahmad Ismail Jamil/ Red: Karta Raharja Ucu
Spanduk PKS
Foto: beritajakarta.com
Spanduk PKS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik antara PKS dan Partai Demokrat kian meruncing menyusul rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Kendati kedua partai politik itu berada dalam satu koalisi, perbedaan persepsi semacam itu dinilai bukan lagi sebagai hal yang aneh.

"Itu konsekuensi logis dari sistem presidensial," kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor, saat dihubungi ROL, Jumat (7/6).

Firman menjelaskan, menurut logika sistem presidensial, koalisi yang dibentuk tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan persepsi di antara parpol yang tergabung di dalamnya. Sebab, komitmen parpol-parpol tersebut untuk bersatu tidak dibangun sebelum pemilihan presiden (pilpres), melainkan setelahnya.

Akibatnya, koalisi yang terbentuk hanya bersifat 'segemented'. Tidak itu saja, anggota legislatif dan presiden sama-sama dipilih langsung rakyat. Baik presiden maupun partai politik, merasa punya tanggung jawab masing-masing terhadap rakyat.

“Ditambah lagi, parpol-parpol telanjur sudah memberikan janji-janji sebelum pemilu legislatif,” imbuhnya.

Karenanya, koalisi dalam sistem presidensial tak lantas menjadi jaminan bagi para pesertanya untuk melulu mengiyakan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Wajar bila kemudian ada salah satu parpol dalam koalisi yang menentang kebijakan pemerintah karena dirasa tidak sejalan dengan misi yang mereka bawa.

“Ini menjadi berbeda dengan sistem parlementer, dimana semua anggota koalisi harus ikut aturan main karena komposisi pemerintahnya memang dibentuk oleh parlemen,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement