REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA---Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur menghukumi tindak pencucian uang sebagai "jarimah" (tindak pidana), karena itu pelakunya harus dihukum sampai jera, termasuk dengan hukuman mati.
"Itu merupakan salah satu keputusan sidang 'bahsul masail (pembahasan masalah agama) dalam Konperensi Wilayah NU Jatim di Sidoarjo pada 31 Mei hingga 2 Juni lalu," kata salah seorang pimpinan sidang bahsul masail itu KH Hasyim Abbas.
Ketika dikonfirmasi hasil sidang bahsul masail dalam Konperwil NU Jatim di Pesantren Progresif "Bumi Sholawat" Lebo, Sidoarjo, ia menegaskan bahwa peserta menghukumi pencucian uang atau "money laundering" adalah "jinayah mal" (perbuatan haram pada harta).
"Syuriah (dewan pengarah/ulama) NU se-Jatim menilai tindak pencucian uang itu merupakan lanjutan dari tindak korupsi, sehingga hartanya wajib dikembalikan dan pelakunya harus dihukum sampai jera," kata dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Dalam bahsul masail juga didiskusikan status Darul Islam (Negara Islam) pada sebagian wilayah NKRI yang menganut tata cara Islami seperti Aceh, Banten, Demak, dan sebagainya, meski ada sebagian wilayah NKRI yang bukan mayoritas Islam, seperti Bali. "Syuriah (dewan pengarah/ulama) NU se-Jatim menilai Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara Islam, karena mayoritas Islam dan umat Islam bebas menjalankan ajarannya," katanya.
Namun, Indonesia tidak bisa disebut Daulah Islamiyah (Pemerintahan Islam), karena masyarakatnya majemuk sesuai Pasal 29 UUD 1945, seperti tindakan Nabi Muhammad di Madinah yang menghargai kemajemukan dengan Piagam Madinah.