Kamis 06 Jun 2013 17:14 WIB

Jika Eropa Bolehkan Polwan Berjilbab, Kenapa Indonesia Melarang?

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Karta Raharja Ucu
Seorang anggota polwan tengah mengatur arus lalu lintas.  (ilustrasi)
Foto: Angtara/Eric Ireng
Seorang anggota polwan tengah mengatur arus lalu lintas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebebasan untuk mengenakan jilbab semakin lama semakin berkembang dan banyak yang mendukung pemakaian jilbab bagi Korps wanita Polri dan TNI.

Di beberapa negara yang mayoritas non-Muslim seperti di Hungaria, Swedia, Inggris, Denmark, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat (AS), polisi dan Tentara Wanita Muslimah diperbolehkan mengenakan jilbab saat bertugas. Padahal, sebagian besar penduduk di negara-negara tersebut adalah Nasrani.

Mantan Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid, menungkapkan, di Hungaria telah dibuat peraturan untuk Korps Polisi Wanita (Polwan) yang mengenakan jilbab dengan pakaian dinas yang dirancang sesuai dengan bahan dan kerudung yang serasi.

Di Australia dan Selandia Baru banyak Polwan berjilbab yang sibuk mengatur lalu lintas. Pun di Inggris, polwan berjilbab ada yang bertugas di satuan sabhara atau reskrim, tidak hanya ditempatkan di satuan lalu lintas saja. Di Denmark, mengizinkan Muslimah berjilbab untuk mengikuti pendidikan militer. AS bahkan tidak melarang sejumlah tentara wanitanya memakai jilbab ketika bertugas.

"Sudah semestinya tidak ada lagi larangan bagi muslimah yang berkarier sebagai anggota TNI maupun Polri untuk berjilbab. Apalagi jumlah anggota tentara perempuan dan polwan Indonesia sebagian besar adalah muslimah," ujar Hidayat.

Secara konstitusional, ungkap Hidayat, Indonesia menjunjung tinggi kekebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan ajaran agama masing-masing (Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945). Artinya, memakai paduan kerudung dan seragam merupakan hak asasi bagi tentara maupun polwan Muslimah yang dijamin konstitusi.

"Bahkan dalam ajaran Islam itu sendiri, memakai jilbab bagi muslimah bukanlah sekedar hak asasi saja. Namun, telah menjadi kewajiban asasi," tuturnya.

Politikus perempuan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), almarhumah Yoyoh Yusroh, pernah menegaskan, mengenakan jilbab bagi seorang Muslimah adalah hak yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, menurutnya, semua peraturan perundang-undangan haruslah mengacu kepada hak dasar yang telah diatur dalam konstitusi tersebut.

Yoyoh juga pernah mempertanyakan, kenapa Polwan dan Korps Wanita TNI di Aceh diperbolehkan mengenakan jilbab tapi di daerah lain tidak boleh.

"Sebaiknya diberikan izin atau diatur jika ada Polwan dan Korps Wanita TNI yang ingin mengenakan pakaian dinas berjilbab, jangan dilarang. Pengenaan jilbab itu bagi perempuan muslimah di semua profesi dibolehkan dan nyatanya tidak pernah menghambat kinerja mereka," tegas almarhumah saat mempertanyakan hal tersebut di DPR RI.

Menurutnya kala itu, pakaian seragam yang dipadukan dengan kerudung tidak menghalangi aktivitas dan kelincahan gerak para tentara wanita maupun polwan di lapangan. Hal ini telah dibuktikan oleh para tentara wanita dan polwan berkerudung di sejumlah negara mayoritas non-muslim seperti Hungaria, Inggris, Australia, Selandian Baru, serta AS.

Bahkan, sejumlah negara Muslim seperti Malaysia, Pakistan, Irak, Yordania, Mesir, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya sangat bangga dengan semakin banyaknya para prajurit wanita berjilbab, baik dari kalangan militer maupun polisi.

Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia mengizinkan para prajurit wanita dari institusi TNI maupun Polri untuk berjilbab di seluruh wilayah NKRI, tidak hanya di Aceh saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement