Rabu 05 Jun 2013 14:41 WIB

NU: Muslim dan Non-Muslim Harus Bersatu Lawan Teroris

Rep: Indah Wulandari/ Red: A.Syalaby Ichsan
Ketua PB NU Said Aqil Siradj saat berpidato dalam Harlah ke-90 Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, Senin (27/5) malam
Foto: Republika/Yasin Habibi
Ketua PB NU Said Aqil Siradj saat berpidato dalam Harlah ke-90 Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, Senin (27/5) malam

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengecam keras tindakan pengeboman yang terjadi di Mapolres Poso, 3 Juni 2013 karena Intihar (bunuh diri) dalam kondisi dan atas nama apapun tidak dapat dibenarkan.

“Sebagai orang Indonesia, saya nyatakan bahwa cara-cara seperti itu bukan Islam ala Indonesia. Maka masyarakat baik muslim maupun non muslim harus bersatu melawan terorisme dan radikalisme. Karena apapun tindakan pengeboman tidak bisa dibenarkan,”kata KH Said Aqil Siroj, Rabu, (5/6), di Jakarta

Said menjelaskan, aksi bom bunuh diri ditengarai sebagai dendam terhadap aparat, karena itu diharapkan aparat berwenang lebih persuasif dan profesional dalam menangani terorisme.

“Maka saya pikir aparat yang berwenang juga harus bisa lebih luwes, bukan dengan cara kekerasan yang membabi buta,” tandas Said.

Meski demikian, dengan adanya insiden ini, lanjutnya, peran Densus 88 harus lebih diperkuat, dengan melakukan evaluasi mendalam sehingga kejadian serupa tidak terjadi kembali.“Jangan lagi terulang kejadian-kejadian seperti salah tangkap dan tindakan lain yang tidak perlu,” tegas Said

Lebih lanjut, Doktor lulusan Universitas Ummul Qura ini menilai, penanganan yang dilakukan aparatur pemerintah selama ini cenderung reaksioner. Seharusnya dalam persoalan ini lebih mengedepankan pendekatan dengan memberikan pemahaman yang benar.

“Bahwa jika masih terjadi serangkaian kasus seperti ini akan menimbulkan kesan pembiaran.Membiarkan radikalisme agama berkembang sama artinya sengaja membiarkan pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan terjadi di waktu-waktu mendatang,” tegas Said.

Ditambahkan, bahwa pemahaman yang kurang memadai cenderung membuat pemeluk agama menjadi fanatik sempit. Seperti memahami jihad semata sebagai tindakan kekerasan yang dibenarkan agama, sama dengan kesalahan memahami Indonesia hanya sebatas Pulau Jawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement