REPUBLIKA.CO.ID, JEPARA -- Pemerintah terus melakukan sosialisi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Namun dalam pelaksanaannya, imbauan pembuatan dokumen V-legal sebagai penjamin kayu yang dihasilkan sudah memenuhi standar ekspor, justru membuat para pengrajin skala rumah tangga mundur.
"Mereka kabur karena enggan mengurus berbagai dokumen," ujar Manajer Produksi dari CV. Mahogany Crafter, Anita Indriany, Senin (3/6).
Dokumen yang harus disiapkan pengrajin sebetulnya cukup sederhana. Pengrajin cukup menyerahkan Surat Keterangan Usaha (SKU) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk mengatasinya, pengusaha seperti CV. Mahogany terpaksa turun langsung mensubsidi para pengrajin yang menjadi partner mereka.
Tantangan lain yang membuat pengrajin malas mengurus SVLK yaitu tidak ada budaya pengarsipan nota-nota dan surat-surat terkait penjualan kayu. Padahal berkas ini penting untuk membuktikan kepemilikan kayu secara legal.
Pengrajin juga tidak terbiasa dengan dokumentasi dan pengecekan nilai terhadap volume kayu. "Padahal dengan sistem ini pengrajin bisa mengetahui nilai pasti hasil kayu yang mereka jual," ujar Anita kepada Republika.
Direktur Multistakeholder Foresty Programme (MFP) Diah Y. Raharjo mengatakan, saat ini sudah 85 persen pelaku industri yang mengurus dokumen V-legal di seluruh Indonesia.
Industri Kecil Menengah (IKM) dapat mengurus V-legal dengan sistem berkelompok. Biaya untuk pembuatan dokumen sekitar Rp 25 juta hingga Rp 30 juta yang berlaku selama enam tahun.