REPUBLIKA.CO.ID, WAYKANAN -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dwi Nurul Fatonah dalam repliknya menyatakan guru pencubit murid di Kabupaten Waykanan Lampung, Sari Asih Sosiawati binti Rohmatan, pantas dihukum dengan adanya sejumlah bukti sah dan meyakinkan.
"Penasihat hukum terdakwa dalam pledoinya menyatakan kami mengabaikan keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, mengingat memang tidak ada satu aturan pun mewajibkan jaksa atau hakim mempertimbangkan keterangan saksi ahli," kata Dwi, dalam sidang guru Asih itu, di Pengadilan Negeri Blambanganumpu Waykanan, Rabu.
Menurut JPU itu, tidak ada aturan dalam hukum pidana mewajibkan jaksa maupun majelis hakim memakai atau mempertimbangkan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
Hal itu sebagaimana amanat Mahkamah Agung dalam kasasinya pada 17 Maret 1962 No. 72K/Kr/1961.
"Karena itu, kesaksian seorang saksi ahli tidak menjamin terbebas terdakwa dari jeratan hukum, apalagi saksi tersebut memiliki tendensi terhadap salah satu pihak berkepentingan," kata dia menjelaskan.
Selanjutnya mengenai teori serta pengertian tentang kekerasan, penasehat hukum tidak sependapat dengan pengertian kekerasan yang dipakai JPU, dan memilih menggunakan definisi kekerasan yang ada dalam pasal 89 KUHP, yakni "yang disamakan dengan melakukan atau menggunakan kekerasan ialah membuat orang pingsan atau tidak berdaya".
Dalam KUHP itu, kata dia menambahkan, terdapat kata "yang disamakan", ini berarti pengertian dari kekerasan bukanlah membuat orang pingsan dan tidak berdaya, karena hal tersebut hanya dianggap sama atau disamakan.
"Menurut penasehat hukum terdakwa dalam pembelaannya pula, perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur penganiayaan dikarenakan definisi penaniayaan yang dipakai adalah 'dengan sengaja menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka'," ujar dia pula.
Di dalam kitab hukum pidana yang berlaku, ujar dia lagi, ada tiga teori kesengajaan, yakni kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan kepastian akibat, dan kesengajaan dengan kemungkinan akibat.
JPU itu melanjutkan, terdakwa adalah guru berpendidikan tinggi dan seharusnya memiliki logika pemikiran di atas rata-rata.
Selain itu, ujar jaksa Dwi menambahkan, selama hidupnya terdakwa pasti pernah dicubit, sehingga pasti pernah mengenal rasa sakit akibat cubitan, oleh karena itu, menurut teori kesengajaan dalam hukum pidana, kemungkinan akan terasa sakit tersebut meski hanya kemungkinan ada, sehingga tetap masuk dalam kategori sengaja.
"Dengan demikian, 'unsur sengaja menyebabkan rasa sakit, penderitaan atas luka' terbukti," kata dia pula.
Dwi lalu menamakan alat bukti surat berupa 'visum et repertum' nomor 561/ver/PKM-BD/VIII/2012 yang ditandatangani oleh dr Naila Firzaniati dengan kesimpulan ditemukan memar di dada depan akibat kekerasan benda tumpul.
Sari Asih Sosiawati pada 29 Agustus 2012 mencubit muridnya, anak Erwansyah, pemilik Hotel Intan Baradatu.
Anak tersebut dicubit di bagian atas perut bawah ketiak sebelah kiri karena sudah dua kali tidak mengerjakan ulangan. Akibat cubitan itu, guru Asih yang kelahiran Telukbetung, 14 September 1980 itu, dilaporkan oleh Erwansyah ke Polsek Baradatu.
"Penasihat hukum terdakwa menyatakan perbuatan Asih seperti halnya tindakan dokter gigi mencabut gigi pasiennya. Meski menimbulkan rasa sakit tapi tidak dapat dipidana karena masih dalam profesinya sebagai seorang guru, pada jam pelajaran dan dalam konteks mendidik," ujar dia lagi.
JPU menilai, hal itu justru tidak bisa disamakan, karena memang sangat berbeda, dokter mencabut gigi pasien merupakan tindakan medis yang diizinkan undang-undang bahkan diatur jelas dalam ilmu kedokteran sebagai jalan penyembuhan, dan yang terpenting ada izin dari pasien.
"Namun demikian, jika seorang dokter menyimpang dari perilaku profesionalismenya bisa dipidanakan. Dalam kasus tersebut, terdakwa tidak mendapat izin dari saksi korban atau walinya, dan tidak ada satu pun undang-undang maupun kode etik guru yang memperbolehkan hukuman fisik atau kekerasan terhaap siswanya," ujar jaksa itu pula.
Tindakan kekerasan menurut Dwi lagi, akan berdampak negatif pada psikologis siswa, sehingga anak akan menyimpan dendam, serta makin kebal terhadap hukuman.
"Perbuatan tersebut hanya membuat lingkaran kekerasan di masyarakat, dan tidak selayaknya anak seusia saksi korban mendapat kekerasan," kata Dwi yang selanjutnya meminta Asih dihukum enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.