Ahad 26 May 2013 10:54 WIB

Guru Agama Keluhkan Tunjangan Sertifikasi

Rep: Teguh Setiawan/ Red: Heri Ruslan
Seorang guru sedang mengajar di madrasah (ilustrasi)
Foto: Damanhuri Zuhri
Seorang guru sedang mengajar di madrasah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Puluhan guru agama di Jakarta Barat mengeluhkan belum turunnya tunjangan sertifikasi dalam beberapa bulan terakhir, yang mengakibatkan tidak meningkatnya mutu pengajaran.

Keluhan ini terungkap dalam Seminar Akreditasi Sekolah dan Sertifikasi Guru di Aula Gereja Bunda Maria Karmel, SMA Sang Timur, Jumat (24/5). Seminar menghadirkan Rudy Bunardi dari Sudin Pendidikan Menengah (Dikmen) Jakarta Barat, Diding Zainuddin dari Badan Akreditasi Sekolah dan Madrasah DKI Jakarta, Rina Aditya Sartika sebagai pemerhati masalah pendidikan.

Robertus Suhardjo, guru tetap SMA Ricci, mengawali keluhan. Menurutnya, sertifikasi hanya berfungsi menambah penghasilan guru dan tidak meningkatkan kualitas pengajaran yang diberikan seorang guru.

“Setiap bulan saya selalu berharap rekening saya bertambah Rp 1,5 juta,” ujar Robertus. “Tapi setelah bebulan-bulan, yang ditunggu tidak pernah muncul.”

Ia juga mengatakan dirinya tidak melihat ada peningkatan kualitas mengajar yang diperlihatkan para guru bersertifikasi. Fakta ini kian menguatkan betapa motivasi para guru mengejar sertifikasi, hanya untuk meningkatkan penghasilan.

Petrus Haryo, guru agama Katolik SMA Sang Timur, punya keluhan yang sama. Seiingatnya, tunjangan sertifikasi hanya diterima beberapa bulan pada tahun 2009.

“Setelah itu saya tidak pernah menerimanya lagi,” ujar Petrus. “Saya tanya ke pihak terkait, jawabannya tidak ada dana. Jika tidak ada dana mengapa bikin janji tunjangan sertifikasi.”

Rudy Bunardi membenarkan terjadinya kemacetan pengucuran dana tunjangan sertifikasi. Menurutnya, sertifikasi guru agama dikeluarkan Departemen Agama.

“Saya juga bingung Departemen Agama paling mudah mengeluarkan sertifikasi, tapi paling sulit mengucurkan dana,” ujar Rudy.

Rudy juga mengingatkan tidak hanya guru agama Katolik yang belum mendapat tunjangan sertifikasi. Guru agama lainnya; Islam, Kristen, Budha, dan Hindu, juga mengalami hal sama. Juga tidak hanya di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia.

Bahkan, masih menurut Rudy, banyak guru agama tidak ingin melanjutkan karier sebagai pengajar agama dan beralih menjadi pengajar mata pelajaran lain.

Alex Usman, Kasie Sarana dan Prasarana Sudin Dikmen Jakarta Barat, mengatakan bagaimana pun sertifikasi guru amat penting. Ia juga mengingatkan filosofi sertifikasi bukan menambah tunjangan, tapi menjadikan guru sebagai pelayan pendidikan.

“Dulu, 90 persen sumber belajar adalah guru. Kini tidak lagi. Anda tinggal tanya paman Google, dan semua ada,” ujar Alex Usman.

Pertanyaannya, masih menurut Alex, apa peran guru di kelas.?  “Menurut saya, guru harus lebih berfungsi sebagai agen sosialisasi anak.” Di Eropa, banyak orang lebih suka home schooling, atau sekolah di rumah, tapi anak-anak menjadi tidak mampu bersosialisasi.

Sementara itu Rina Aditya Sartika, pengamat masalah pendidikan, menyoroti tidak tersedianya informasi yang komprehensif untuk masyarakat mengenai sekolah terakreditasi, dan berapa banyak guru bersertifikat yang dimiliki sekolah negeri dan swasta.

“Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa mereka harus menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah yang terakreditasi, dengan banyak guru bersertifikat,” ujar Rina.

Rina melihat selama ini masyarakat cenderung memilih sekolah yang dekat dengan permukimannya, tanpa pernah tahu sekolah itu terakreditasi, atau akreditasinya telah habis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement