REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Lucky Oemar Said
atau dikenal sebagai Lucky S.Slamet mengatakan aat ini ada empat fitofarmaka yang sedang dalam proses penilaian.
Keempat itu adalah disolf (untuk membantu memperbaiki sirkulasi darah), dismeno, (membantu meredakan nyeri haid), inclacin (untuk memperbaiki resistensi insulin) dan redacid dari PT Dexa Medica.
"Di samping itu ada satu fitofarmaka yang melapor sedang uji klinis bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengambangan Kesehatan yakni Avimax (red. suplemen stamina)," kata Lucky pada Republika.
Dengan demikian dalam waktu dekat ada sekitar 11 fitofarmaka produksi Indonesia. Sedangkan produk fitofarmaka yang sudah terdaftar dan diresepkan para dokter ada enam yakni: rheumaneer untuk pengobatan nyeri sendi ringan sampai sedang; stimuno: sebagai immunomodulator dan sebagai terapi ajuvan dalam pengobatan tuberkulosa; xgra untuk disfungsi ereksi dengan atau tanpa ejakulasi dini; tensigard agromed untuk menurunkan tekanan darah sistolik/diastolik pada hipertensi ringan hingga sedang; livitens untuk obat jantung.
Kebanyakan Fitofarmaka tersebut hanya diproduksi pabrik farmasi PT Dexa Medica. Fitofarmaka adalah obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandard, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah, protokol uji yang telah disetujui, pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat.
Sebelumnya Ketua Tim Pengembangan Obat Herbal RSUP Dr Sardjito dr Nyoman Kertia, SpPD-KR mengatakan prospek penggunaan obat fitofarmaka maupun dokter yang mau meresepkan fitofarmaka selalu ada.
"Karena dokter kalau meresepkan obat herbal itu maunya uji klinik. Pengujiannya harus sampai ke manusia, sehingga terbukti bagus dan aman kalau diresepkan pada manusia," tutur dia.
Menurut Nyoman, untuk menjadikan obat herbal tersebut sampai fitofarmaka perlu proses panjang dan biaya besar. Masalahnya, dia menambahkan,anggaran pemerintah Indonesia untuk pengembangan fitofarmaka tidak banyak. Sementara swasta juga kurang punya kesadaran ke arah itu.