REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai, kesalahan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap bukan pelanggaran kode etik. Karena KPU dianggap memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kehormatannya. Yaitu dengan bersikap independen dan berkukuh dalam pendiriannya.
"Jika di kemudian hari teradu masih terus berpandangan seperti semula, maka hal itu tidak dapat ditoleransi sebagai pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu yang nyata," tegas Ketua DKPP Jimly Asshidiqie di kantor DKPP, Jakarta, Jumat (17/5).
Sebelumnya, DKPP memberikan peringatan kepada KPU setelah mengabulkan sebagian gugatan pelanggaran kode etik yang dilaporkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Constitutional and Electoral Reform Centre (Correct).
Menurut Jimly, keputusan itu berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan terbukti benar adanya. Laporan para pengadu dipahami dan dibenarkan dari sudut pandang etika penyelenggaraan pemilu yang baik.
KPU dianggap tak melakukan pelanggaran etika karena memandang fakta yang terungkap itu secara berbeda. Ini pun didukung keterangan para ahli dalam persidangan.
Perbedaan persepsi dalam menafsirkan undang-undang ini yang menyebabkan terjadinya kekisruhan dalam pelaksanaan tugas KPU sebagai pihak teradu.
Komisioner KPU, Arief Budiman menyatakan, menerima sepenuhnya keputusan DKPP. "Kami terima dan akan laksanakan, dalam penyelenggaraan pemilu yang tengah berjalan dan penyelesaian sengketa pemilu selanjutnya," kata Arief.
Gugatan ini dilatarbelakangi sikap KPU yang tidak melaksanakan Keputusan Bawaslu nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/2013 pada 5 Februari 2013. Keputusan itu mengabulkan permohonan penyelesaian sengketa Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai partai politik peserta pemilu 2014.
KPU bersikukuh tidak melaksanakan keputusan Bawaslu, karena memandang penetapan peserta pemilu merupakan kewenangan penuh KPU.