REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi, Priagung Rakhmanto menilai, kemelut yang kini terjadi akibat simpang siurnya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, akibat keragu-raguan pemerintah dalam menentapkan kebijakan.
Menurutnya, masalah BBM memang tidak sederhana, dan kompleks. Sebab, saat BBM sudah dikisaran Rp 6.000 per liter pada 2008, lalu diturunkan menjadi Rp 4.500 per liter pada 2009, menjadi contoh nyata terlalu banyak opsi pemerintah yang tidak matang yang dilemparkan ke publik.
"Eksekusinya secara politik dan ekonomi tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah, karena kegagalan menaikkan BBM pada 2012," ujarnya saat diskusi panel BBM di Jakarta, Selasa (14/5).
Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini menuturkan, sebenarnya harga BBM sudah tidak perlu persetujuan DPR, tetapi masih dibawa lagi ke mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013, karena dipersyaratkan sendiri dengan bantuan langsung tunai (BLT). Ia menilai kebijakan BBM bersifat politis dan diulang lagi sekarang.
Menurutnya, pemerintah seperti tidak memiliki kepekaan terhadap permasalahan sektor energi yaitu minyak dan gas (migas). “Kita juga tidak memiliki politik energi dan kebijakan energi juga tidak dijalankan dengan konsisten,” ujarnya mengakhiri.