REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Djoko Susilo membacakan nota keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/4).
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto malah merasa kasihan kepada Djoko Susilo yang memiliki kuasa hukum namun tidak mengerti substansi perkaranya.
"Kasihan kepada pak Djoko yang memiliki pengacara seperti itu, karena Djoko yang akan menanggung akibatnya. Mereka tidak membahas perkara tapi malah membangun sensasi-sensasi yang tidak penting," kata Bambang Widjojanto dalam jumpa pers di KPK, Jakarta, Selasa (30/4).
Bambang mengaku mengikuti persidangan tersebut dan ikut membaca dokumen eksepsi yang dibacakan sejumlah kuasa hukum Djoko Susilo seperti Hotma Sitompul dan Juniver Girsang. Ia juga sangat menghormati hak yang dimiliki terdakwa dalam eksepsinya.
Ia mengritik eksepsi tersebut harusnya tetap dapat menghormati KPK sebagai institusi penegak hukum. Pasalnya penggunaan kata-kata dan idiom dalam eksepsi tersebut dinilai tidak tepat dibacakan di persidangan yang diliput berbagai media.
Bahkan dalam eksepsi itu, kuasa hukum Djoko Susilo mempersoalkan kredibilitas para pakar dan saksi yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Selain itu, eksepsi Djoko Susilo juga sudah menyudutkan KPK yang dinilai melakukan penyalahgunaan wewenang.
"Sebagian argumen itu sangat old fashion. Bahkan cenderung melakukan penghakiman," ujarnya.
Mengenai argumen kuasa hukum yang menilai KPK tidak memiliki kewenangan untuk menangani perkara yang terjadi pada 2003-2010 karena penganggaran proyek simulator SIM baru dilakukan pada 2011, menurutnya bukan argumen yang baru. Ia menyontohkan kasus Abdullah Puteh terjadi pada 2001 namun disidang pada akhir 2004 dan KPK tetap dapat menanganinya.
Padahal UU KPK baru ada pada 2002 dan komisionernya baru ditunjuk pada 2003. Selain itu, ia juga meminta agar pihak kuasa hukum Djoko Susilo membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review yang diajukan Bram Manopo yang menyebutkan KPK tetap memiliki kewenangan dalam UU KPK.
Dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), jelasnya, harus mengikuti aliran uang atau follow the money. Sehingga KPK tetap berhak menyita aset-aset milik Djoko Susilo jika aset-aset itu tidak bisa dipertanggungjawabkan dari profil terdakwa.
"Kita punya data gaji Djoko Susilo dari 2003 dan itu (aset-aset yang disita) di luar profil yang dimilikinya. Makanya argumen itu terlalu simplisistik, sumir dan tidak konstruktif," tegasnya.