Selasa 30 Apr 2013 09:38 WIB

Plus Minus Doktrin Budaya pada Pernikahan Dini

Rep: Andi Nur Aminah/ Red: Karta Raharja Ucu
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga orang perempuan belia, dengan bedak dan gincu tebal nanar menatap ke lepas pantai. Mereka memangku dan menggendong balita. Beberapa orang lagi, terlihat sedang berbadan dua. Bedak yang dipoles tebal dan gincu merah itu, tak kuasa menyembunyikan wajah-wajah mereka yang masih belia.

Inilah gambaran perempuan muda di Pulau Kodingareng. Pulau ini letaknya sekitar 15,5 kilometer dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau ini, satu dari sekian banyak gugusan pulau yang ada di wilayah Kota Makassar.

Di pulau tersebut, sejumlah perempuan muda harus putus sekolah dan terpaksa menerima nasib untuk menikah muda. Selviana (14 tahun) dan Fahmi (17 tahun), salah satu contohnya. Daeng Singara, ibu Selvi yang meminta mereka menikah. Singara khawatir, jika anaknya tak dapat menjaga diri dan akhirnya hamil sebelum menikah.

Selvi menikah saat baru saja lulus dari bangku SD. Dia tak protes. Di pulau tempatnya dilahirkan itu, hal biasa anak seusianya menikah dan putus sekolah.

Dua hari sebelum menikah, Selvi diantar ibunya ke Puskesmas Pembantu yang ada di Pulau Kodigareng. Ia tak kuasa menolak saat sang ibu meminta petugas memberinya suntikan KB. "Disini banyak yang pakai suntikan KB. Kalau kawin muda, biasanya disuntik dulu agar tidak cepat hamil," ujar Singara suatu ketika.

Warga pulau ini, memang banyak yang menikah dini. Namun kesadaran akan risiko melahirkan di usia muda, pelan-pelan mulai muncul. Pesan-pesan dokter yang berkunjung  ke pulau tersebut sebulan sekali, cukup didengar. "Katanya belum siap melahirkan, jadi disuntik dulu," ujar Sangara.

Doktrin budaya yang tidak manusiawi, terutama pada kaum perempuan, terjadi di pulau ini, entah sejak kapan. Untuk menghindari aib, para orang tua memilih menikahkan anak perempuan mereka, begitu si anak mendapat menstruasi.

Menurut Mutti, warga pulau Kodingareng, di pulau tersebut, anak perempuan sering dianggap beban. Anak perempuan dianggap tak bisa menjaga diri, sehingga perlu segera dinikahkan. "Menikah muda sudah menjadi tradisi di pulau ini. Bahkan ada anggapan, lebih berharga menjaga kerbau daripada menjaga anak perempuan," ujarnya.

Duh, sungguh miris mendengarnya! Untungnya, setelah dinikahkah, masih ada kesadaran untuk menunda memiliki anak dengan menyarankan anak-anak mereka menggunakan alat kontrasepsi.

Beberapa budaya dan tradisi di negeri ini, memiliki tafsir berbeda tentang pernikahan dan anak. Seperti yang terjadi di Pulau Kodingareng, perempuan yang belum menikah di usia 20 tahun menjadi bahan pergunjingan. Mereka acap dianggap ‘tidak laku’ jika tidak cepat-cepat dinikahkan.

Di pulau lainnya, di Nusa Tenggara Timur (NTT), lain pula ceritanya. Budaya yang dipegang masyarakat NTT saat akan melakukan pernikahan, justru membuat pernikahan dini di daerah tersebut bisa dihindari.

Semua pernikahan, dengan adat ataupun agama yang berbeda, mensyaratkan pemberian mahar pada perempuan. Di NTT, mahar dikenal dengan istilah belis. Belis bagi sebagain masyarakat NTT, sering menjadi masalah rumit. Gara-gara belis, sepasang lelaki dan perempuan bisa mengundur pernikahannya, bahkan batal menikah.

Belis bisa berupa hewan ternak, gading gajah, ataupun uang. Namun di beberapa wilayah yang masih dihuni suku Lamaholot, salah satu suku asli di NTT, belis gading gajah tidak bisa digantikan barang lain atau pun uang. Suku ini masih bisa ditemui di Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Alor Pantar.

Entah kenapa, belis harus berupa gading gajah. Padahal  di sana tak ada gajah. Gading yang dijadikan mahar, biasanya memang berasal dari luar wilayah Timor yang dibawa oleh perantau.

Saat berkunjung ke Pulau Timor beberapa waktu lalu, ROL sempat berbincang dengan seorang mahasiswa Unika Widya Mandira, Kupang tentang belis. Menurut Elyas, beratnya syarat memenuhi belis tersebut diakuinya bisa memperlambat seseorang menikah. "Harus mengumpulkan uang banyak dulu," ujar Elyas.

Keluarga Elyas, terbilang masih teguh memegang budaya itu. Menurutnya, karena belum memiliki kemampuan, kakak laki-lakinya yang kini sudah berusia 30 tahun, belum menikah. Sebetulnya, kata dia, belis tidak harus gading gajah. Tapi harus beberapa ekor kuda.

Budaya belis di Pulau Timor memang cukup berat. Firi Mbojo, seorang pekerja seni asal Sumba mengatakan, saat menikah dia harus menyediakan 10 ekor kuda. Itupun, dengan tambahan belis tiga ekor kuda lagi, karena setelah menikah, istrinya harus berhenti kuliah.

Saat itu, Firi belum mampu melunasi belisnya. Konsekuensinya, dia menikah namun tak boleh memboyong istrinya keluar dari rumah orangtuanya. Selama belis belum lunas dan mereka dianugerahi anak, maka anak tersebut tidak boleh memakai marga sang suami.

Dua budaya yang berbeda dari pulau berbeda ini, menjadi salah satu tantangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menyukseskan programnya, yang kini dikenal dengan ‘dua anak lebih baik’. Ada yang positif, ada pula yang negative.

Budaya belis misalnya, sedikit banyak akan menunjang program BKKBN yang menargetkan tahun 2014, secara nasional usia menikah pertama perempuan adalah 21 tahun. Namun dibalik budaya belis yang bisa menekan usia pernikahan dini di Pulau Timor, terselip kekhawatiran lain. ‘’Jangan sampai pernikahan tertunda tapi malah terjadi seks bebas pra nikah atau aborsi yang semakin banyak,’’ ujar rektor Unika Widya Mandira, Pater Yulius Tasinto.                

Karena itulah, sosialisasi dan pengenalan berbagai risiko menikah dini, terus dilakukan dengan berbagai cara. BKKBN, telah mendatangi kampus-kampus untuk memperkenalkan program Generasi Berencana (Genre) mereka. Begitu pula merangkul para pemuka adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk lebih memperkenalkan pentingnya program merencanakan kelahiran bagi suatu kelurga.

Dengan sosialisasi Genre, diharapkan para mahasiswa dan remaja memahami dan sanggup merencanakan keluarga masa depan. Di kampus-kampus pun, telah dilakukan pemilihan Duta Mahasiswa Genre di  sejumlah propinsi. Para Duta ini, diharapkan bisa menjadi penyuluh sebaya sekaligus tenaga konseling bagi remaja seusia mereka. Sebagai Duta Genre, mereka memiliki tiga tugas utama. Yaitu menjauhi penyalahgunaan narkoba, menjauhi perilaku seks bebas, dan mencegah penularan HIV/AIDS.

Sosialisai Genre, menyasar kalangan muda yang menjadi target BKKBN. Ini tentu saja agar angka kehamilan yang tidak diinginkan pada usia muda, bisa ditekan. Targetnya, pada 2014 nanti,  angka kehamilan yang tidak diinginkan bisa turun dari 19,7 persen menjadi sekitar 15 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement