REPUBLIKA.CO.ID, SEMANGGI -- Pengamat Budaya dan Komunikasi Devie Rahmawati mengungkapkan, kejahatan seksual ada kaitannya dengan budaya Indonesia yang selalu mengedepankan wajah ketimurannya. Sementara, naluri seksual tidak mengenal budaya atau profesi seseorang.
Wajah ketimuran dinilai terlalu digembar-gemborkan sehingga masyarakat Indonesia menjadi lebih tertutup. Ketertutupan tersebut didasarkan pada norma-norma yang sudah tertanam kuat di masyarakat Indonesia, seperti kesopanan, kesantunan dan keengganan membicarakan hal terkait seksual
Menurut Devi, pengedepanan moral itulah akhirnya menyebabkan sebuah kepalsuan. Masyarakat menjadi tidak tahu hak seksualnya. Padahal dibalik norma tersebut juga tersimpan keburukan yang jauh lebih besar. Sangat berbahaya jika kepalsuan tersebut dipelihara ditambah dengan tingkat pendidikan yang masih rendah.
''Masyarakat menjadi tidak sadar, wajah ketimuran ada negatifnya juga,'' katanya, Kamis (25/4). Devie mengkhawatirkan akibat globalisasi yang semakin dekat.
Banyaknya informasi dan penduduk yang datang dari luar atau sebaliknya menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat dikenalkan dengan kondisi luar yang jauh lebih selektif dalam kejahatan seksual, seperti, memandang saja bisa dikenakan hukuman.
Pemerintah memiliki tugas penting untuk menggiring masyarakat Indonesia menghadapi era globalisasi tersebut. Menurut Devie, jangan sampai masyarakat Indonesia yang diluar negeri mendapat pidana seksual sekalipun mereka mengaku tidak melakukan tindakan tersebut.