REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Fakhruddin
Partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Sumatra Utara (Sumut) sangat memprihatinkan, yakni hanya sekitar 48,63 persen.
Rendahnya partisipasi pemilih ini sangat merisaukan karena angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) mencapai 51,37 persen. Lebih memprihatinkan lagi, partisipasi pemilih di Kota Medan, Sumatra Utara, yang hanya mencapai 36,62 persen. Artinya, jumlah golputnya mencapai 63,38 persen.
Maraknya golput mengancam legitimasi penyelenggaraan pemilukada. Tapi, ternyata besarnya jumlah golput tidak hanya disebabkan oleh pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, tapi juga karena pemilihnya memang tidak ada.
Dengan kata lain, data pemilihnya ada dalam daftar pemilih tetap (DPT), tetapi orangnya tidak dijumpai secara de facto atau fiktif. “Pemilih” jenis ini bisa disebut pemilih hantu. Dikatakan hantu karena “pemilih” ini selalu ada dalam setiap pemilukada dan terjadi berulangulang, bahkan angkanya semakin membesar.
Pemilih hantu dapat dikatakan sebagai golput sebelum dilakukan pemilihan atau golput karena buruknya DPT. Mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan Aguslan Simanjuntak mengungkapkan, pemilih hantu pada Pemilukada Sumut yang digelar 7 Maret 2013, diperkirakan sebanyak 1.728.716 orang atau 16,81 persen dari jumlah pemilih dalam DPT.
“Khusus Kota Medan lebih memprihatikan, di mana pemilih hantunya mencapai 30,76 persen,” kata Aguslan, pekan lalu.
Aguslan terdorong untuk melakukan penelitian dengan melibatkan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Medan, menggunakan metode wawancara kepada petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) untuk mengungkap pemilih hantu ini. Penelitian dilakukan di 63 tempat pemungutan suara (TPS) sejak 1 Maret hingga 7 Maret 2013 saat KPPS membagikan undangan C6. “Dari 63 TPS yang diteliti, ternyata hanya 43 TPS yang diisi secara wajar,” ungkapnya.
Ketidakakuratan pemutakhiran data pemilih ini membuat pemilih hantu di Kota Medan mencapai 652.675 orang atau 30.76 persen. Sehingga, persentase pemilih termasuk pemilih hantu mencapai 36,62 persen. Apabila tidak termasuk pemilih hantu, persentase pemilih Kota Medan seharusnya mencapai 52,88 persen.
Maraknya pemilih hantu di Kota Medan disebabkan pertambahan jumlah pemilih dalam DPT selama kurun waktu sembilan tahun terakhir. Jumlah pemilih dalam DPT pada 2004 sebanyak 1.385.140 orang, kemudian melonjak menjadi 2.121.551 orang pada 2013. Terjadi penambahan jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 736.411 orang atau bertambah 53,17 persen.
Penambahan jumlah pemilih dalam DPT ini tidak wajar karena pertumbuhan penduduk Kota Medan periode 2000 sampai dengan 2010 hanya mencapai 1,22 persen per tahun. “Dapat dikatakan bahwa DPT Kota Medan sangat buruk dan sarat dengan pemilih hantu,” kata Aguslan.
Pemilih hantu ini tidak hanya terjadi di Kota Medan saja, secara umum juga terjadi di kabupaten/kota lain pada Pemilukada Sumatra Utara. Aguslan mengatakan, jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT Pemilukada Sumut sebanyak 10.285.263 orang.
Sedangkan, proyeksi pemilih Sumut yang sebenarnya berdasarkan sensus penduduk 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui jumlah penduduk yang berumur 17 tahun ke atas ditambah penduduk yang telah berumah tangga walaupun belum berumur 17 tahun, hanya berjumlah 8.556.547 orang.
Dengan demikian, terdapat selisih jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT Sumut, tapi secara de facto tidak dijumpai di lapangan alias fiktif mencapai 1.728.716 orang atau sekitar 16.81 persen.
DPT hantu ini dapat dilihat dengan kasat mata pada saat KPPS membagikan undangan C6. Ternyata, dari sekitar 500 orang sampai dengan 600 orang pemilih yang tercantum dalam DPT pada satu TPS, hanya sekitar 300 sampai dengan 500 orang saja yang ditemui secara nyata di lapangan.
Golput hantu ini berulang dari tahun ke tahun atau dari pemilihan ke pemilihan dengan jumlah yang semakin membesar. Ironisnya, golput hantu ini diketahui persis oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu, tetapi tetap saja tidak ada perbaikan.
Padahal, apabila dibenahi, paling tidak dapat meningkatkan persentase pemilih pada Pemilukada Sumut 2013 dari 48,63 persen menjadi 58,45 persen setelah dikurangi data pemilih hantu. Sehingga, persentase golput pada pemilukada lalu hanya sekitar 41,55 persen.
Direktur Election Monitoring Network (EMN) Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, pemilih hantu mengurangi kualitas pemilu. Sebab, data pemilih hantu ini sangat rawan untuk dimanipulasi. “Siapa pun yang memiliki akses bisa berbuat curang dengan memanfaatkan data pemilih hantu ini,” kata Dahnil yang juga akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) ini.
Dia mengatakan, dengan menggunakan metode yang sama, yakni dengan memproyeksi data BPS dengan memaralelkan dengan DPT, dapat juga diketahui pemilih hantu pada pemilukada di daerah yang lain. Pemilih hantu di Pemilukada DKI 2012 sekitar 12,56 persen, pemilih hantu di Pemilukada Jabar 2013 sekitar 11,98 persen, dan pemilih hantu di Pemilukada Sulawesi Selatan 2012 sebesar 13,86 persen.
Menurut Dahnil, terungkapnya pemilih hantu di setiap pemilukada ini merupakan peringatan bagi seluruh anak bangsa. Apabila sistem pemutakhiran data tidak diperbaharui, potensi pemilih hantu pada Pemilu 2014 akan mencapai 30 juta orang atau sekitar 20 persen.
Karena itu, Dahnil menyarankan, perlu dilakukan penelitian secara komprehensif tentang validitas data DPT di seluruh Indonesia. Selain itu, perlu dikaji lebih mendalam tentang validitas data jumlah penduduk yang bersumber dari pemerintah yang digunakan KPU sebagai dasar penentuan jumlah kursi, daerah pemilihan, dan persentase suara calon independen.
Sebab, kata Dahnil, data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diberikan pemerintah ke KPU juga tidak valid. Sebagai contoh, kata dia, jumlah penduduk Kota Medan yang diolah dari data BPS tahun 2013 sebanyak 2.160.538 orang, sedangkan jumlah penduduk menurut dinas pendudukan dan pencatatan sipil (Disdukcapil) mencapai 2.900.000 orang.
“Selisih jumlah penduduk kedua lembaga ini sangat fantastik dan wajib diteliti,” ujarnya. Dia menyarankan penyusunan DPT Pemilu 2014 dilakukan dengan cara pendaftaran pemilih secara de facto.