REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik belum menjadi organisasi milik publik. Ini tecermin dari banyaknya jumlah keluarga dan kerabat tokoh partai politik yang mendapat keistimewaan dalam draft daftar caleg sementara (DCS).
"Oligarkisme partai masih bertahan," kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ary Dwipayana ketika dihubungi Republika, Rabu (24/4).
Di Indonesia laju roda organisasi partai masih ditentukan pengendali faksi yang terdapat di internal partai. Mereka memiliki kekuasaan penuh menentukan kebijakan strategis parpol, termasuk menyusun DCS. Lantaran dimonopoli tidak ada kejelasan dan transparansi menyangkut penetapan seseorang sebagai caleg partai. "Partai masih dikuasai faksi pengedali. Tidak jelas kriteria seseorang terpilih menjadi caleg," ujarnya.
Ary mengatakan sulitnya menghapus oligarki di tubuh partai tak lepas dari pengaruh para penguasa faksi. Kebanyakan mereka masih menganggap partai sebagai milik pribadi. Partai diperlakukan ibarat perusahaan yang hanya boleh dimiliki pemodal. "Partai ibarat perusahaan yang dimiliki komisaris," ujarnya.
Publik mesti mengkritisi partai politik yang tidak transaparan dalam proses pencalegan. Para pengendali partai mesti dituntut pertanggungjawaban kepada publik. "Partai yang bebal terhadap kritik akan dihukum publik," katanya