REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Isu premanisme yang mencuat pascaterungkapnya penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta bukan berarti menjadi pembenaran atas tewasnya empat tahanan.
Hal ini disampaikan empat keluarga korban tahanan yang tewas dalam penyerangan di Lapas tersebut yang datang bersama Kontras ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
"Para keluarga korban keberatan, seolah-olah premanisme itu dijadikan pembenaran atas tindakan penyerangan di lapas," katanya anggota Wantimpres bidang hukum, Albert Hasibuan usai menerima kedatangan empat keluarga korban dan Kontras di kantornya, Rabu (10/4).
Ia mengatakan keluarga korban prihatin dengan pembelokan isu yang terjadi. Fokus pembunuhan di lapas Kopassus justru berkembang dari isu pemberantasan premanisme yang menjadi pemicu awal pembunuhan sadis tersebut.
Keluarga korban pun meminta kepadanya agar keadilan bisa ditegakkan dan dibuktikan. "Mereka merasa ada yang tidak tepat ada semacam pembedaan masyarakat," katanya.
Albert pun menegaskan pihaknya akan mengawal kasus tersebut sampai akhir agar proses hukumnya benar-benar terjadi secara adil. "Harapan kita akhir dari proses ini adalah keadilan," katanya.
Sementara, keluarga dari Johanes Juan Mambait, Victor Mambait mengatakan peristiwa penyerangan di Lapas adalah peristiwa luar biasa dengan penanganan yang luar biasa pula.
Ia mengatakan kedatangannya ke Wantimpres agar pemerintah benar-benar melihat berbagai pertimbangan dalam menyelesaikan kasus tersebut.
"Kami datang ke Wantimpres, kami sampaikan agar pengaduan kami jadi bahan pertimbangan agar mengambil langkah cepat, tepat, dan proporsional. Ini kejahatan kemanusiaan," katanya.
Keluarga dari Adrianus Candra Galaja, Yohanes Lado pun mengatakan hal serupa. Ia menilai kasus penyerangan dan upaya penyelesaiannya sangat luar biasa. Sehingga dibutuhkan langkah luar biasa pula.
Menurutnya, kasus ini bisa menjadi beban sejarah jika tidak ditangani dengan tepat. "Ini bisa jadi beban sejarah kita," katanya.