REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sedikitnya 10 persen dari jumlah anak sekolah jenjang pendidikan dasar di Jawa Tengah mengalami gangguan refraksi mata.
Akan tetapi, kasus ini cenderung diabaikan karena kultur masyarakat yang masih kurang peduli terhadap pentingnya pemeriksaan mata secara berkala.
Tim Penanggulangan Buta Katarak Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Jawa Tengah Tri Laksana mengatakan, sebagian besar mereka mengalami kelainan dengan gejala tak bisa melihat obyek dengan jelas ini.
Sehingga sangat membutuhkan kaca mata untuk mengatasi gangguan ini. “Hasil survei Perdami, 10 persen ini angka yang besar,” ujarnya akhir pekan ini.
Ia juga menyampaikan, langkah pemeriksaan dan skrening mata bagi anak sekolah dasar (SD) sudah tepat untuk bisa mendeteksi gangguan refraksi sejak awal.
Karena jika gangguan refraksi mata tersebut dapat diketahui sejak awal, maka gangguan ini bisa diatasi atau dikoreksi agar tidak menjadi gangguan penglihatan yang permanen.
Jika tidak segera dikoreksi dengan kaca mata, maka penglihatan bisa menjadi kabur sehingga dapat berpengaruh pada prestasi anak di sekolah.
“Karena gangguan penglihatan, si anak kurang bisa mengikuti pelajaran, karena tidak bisa membaca huruf sehingga nilai jeblok dan tidak naik kelas,” jelasnya.
Untuk itu anak usia sekolah perlu dilakukan skrening dan pemeriksaan mata secara berkala, misalnya setahun dua kali.
“Sehingga bila diketahui adanya kelainan mata bisa diintervensi atau dikoreksi sedini mungkin,” tambahTri Laksana, di sela pemeriksaan mata gratis bersama PT Sidomuncul, di SD Bina Putra.