REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mengubah aturan tentang pencalegan. Calon kepala daerah yang sebelumnya dilarang maju menjadi calon anggota legislatif, dengan diterbitkan aturan baru bisa mencalonkan diri.
Sebelumnya, sesuai Peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 Pasal 47, calon kepala daerah atau wakil yang telah ditetapkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota sebagai calon dalam Pilkada tidak dapat dicalonkan sebagai anggota legislatif. Bila tetap dicalonkan, maka yang bersangkutan dianggap tidak memenuhi syarat sebagai bakal caleg.
Tetapi, menurut Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, setelah dievaluasi dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak akhirnya calon kepala daerah diperbolehkan menjadi caleg. Dengan begitu, KPU mengubah PKPU 7/ 2013 menjadi PKPU 13/2013. "Jadi kami membatalkan pasal 47," kata dia, di kantor KPU Pusat, Jakarta, Kamis (4/4).
Perubahan PKPU itu, menurut dia, merupakan tindak lanjut KPU atas rekomendasi saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II KPU pekan lalu. Saat itu, ada beberapa poin dalam PKPU 7/ 2013 yang dikritisi. Seperti persoalan caleg perempuan, dan larangan bagi calon kepala daerah untuk menjadi caleg.
Terkait caleg perempuan, KPU, kata Hadar memastikan tidak melakukan perubahan apapun. Atau memberikan kelonggaran seperti yang dikehendaki beberapa fraksi. Namun, menyangkut larangan caleg bagi calon kepala daerah KPU memiliki pertimbangan lain.
Sikap itu diambil KPU, lanjut dia, untuk memastikan hak konstitusional seseorang bisa terpenuhi. Salah satu pertimbangannya, bagaimana jika calon pasangan kepala daerah tersebut tidak menang dalam pilkada. "Mereka kan mau daftar sana-sini boleh dong, kan belum pasti jadi kepala daerah," ungkapnya.
Namun, jika calon pasangan kepala daerah tersebut ternyata menang maka yang bersangkutan akan dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat sebagai caleg. Kalau proses penentuan pemenang pilkada baru dilakukan setelah daftar calon ditetapkan (DCT), maka parpol akan mempunya risiko.
Calon tersebut dinilai tidak memenuhi syarat, kemudian dicoret, dan tidak dapat digantikan. Tetapi, jika pemenang pilkada diumumkan daftar calon sementara (DCS) disusun, maka parpol bisa mencari calon pengganti.
"Dengan catatan kami tidak akan aktif memberitahu, itu urusan parpol," kata Hadar menegaskan.
Peraturan penggantian tersebut, dikatakan Hadar sama dengan prosedur penggantian sebelum DCS ditetapkan. Pergantian calon setelah DCS ditetapkan bisa dilakukan karena dua hal.
Pertama, karena ada masukan dari masyarakat. Bahwa yang bersangkutan setelah melalui proses klarifikasi tidak memenuhi syarat. Kedua, karena calon meninggal dunia. Terlepas dari dua kriteria itu, Hadar menegaskan, penggantian DCS tidak bisa dilakukan.