Selasa 02 Apr 2013 14:27 WIB

Penghapusan Pemilukada Langsung Hemat Rp 20 Triliun

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Djibril Muhammad
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek
Foto: depdagri.go.id
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus kerusuhan pascarekapitulasi Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Palopo mengundang keprihatinan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Setelah dikaji ulang pelaksanaan pemilukada langsung sejak 2005, ternyata lebih banyak ekses negatif daripada positifnya.

 

Staf Ahli Mendagri, Reydonnyzar Moenek mengatakan, pemilukada langsung telah menciptakan konflik sosial. Kehidupan masyarakat yang dulunya damai, sekarang terpecah menjadi beberapa kubu, karena terlibat dukung-mendukung calon kepala daerah.

 

Belum lagi, pelaksanaan pemilukada langsung yang menghabiskan dana puluhan triliun rupiah, yang seharusnya alokasi itu bisa digunakan untuk program pembangunan.

Terbukti, jumlah korban akibat kerusuhan pemilukada mencapai 50 orang, dan kerugian akibat pembakaran fasilitas umum jumlahnya cukup besar.

 

Melihat kenyataan itu, Reydonnyzar berharap DPR menyetujui agar pemilukada kabupaten/ kota tidak lagi dipilih langsung, melainkan cukup lewat DPRD. Selain bisa melokalisasi kemarahan publik yang tidak puas terhadap kinerja penyelenggara pemilu, sambungnya, manfaat lainnya juga terjadi penghematan sangat besar.

 

"Dari APBN yang kita hitung, apabila 524 kabupaten/ kota dan provinsi dipilih DPRD, terjadi penghematan anggaran sebesar Rp 20 triliun," katanya, Selasa (2/4).

Angka itu memang belum hitung-hitungan matang, dan data kasar. Namun, ia memberi contoh, pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim pada 2008 menghabiskan anggaran Rp 1 triliun untuk tiga putaran. Dana yang hampir sama juga dihabiskan untuk penyelenggaraan Pilgub Jawa Tengah.

 

Melihat kenyataan itu, ia meminta semua pihak untuk berpikir jernih, apakah terus membiarkan pemilukada langsung atau mencari format terbaik guna mengurangi ekses negatif. Meski pahit, ia harus mengatakan tingkat kematangan dan penerimaan politik rakyat Indonesia belum cukup dewasa.

 

Di Barat, sistem demokrasi bisa berjalan baik karena tingkat pendidikan masyarakatnya sudah sarjana. Adapun, di Indonesia tingkat pendidikan baru mencapai 7,2 tahun alias rata-rata masyarakatnya lulusan kelas 1 SMP. Income per kapita harusnya di atas 6 ribu dolar AS, dan masyarakat Indonesia baru mencapai 3.500.

 

Belum lagi, ia menambahkan, apakah demokrasi itu harus selalu diartikan dengan pemilihan langsung, karena pemilihan lewat DPRD juga termasuk demokrasi secara mufakat. "Ini fakta riil masyarakat kita. Asas demokrasi yang terpenting harus dipilih," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement