Rabu 27 Mar 2013 14:25 WIB

RUU Ormas Dinilai Represif, Ini Jawaban Kemendagri

Rep: Erik Punama Putra/ Red: Heri Ruslan
  Ratusan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jabar menggelar aksi menolak RUU Organisasi Masyarakat (Ormas) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (26/3).  (Republika/Edi Yusuf)
Ratusan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jabar menggelar aksi menolak RUU Organisasi Masyarakat (Ormas) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (26/3). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Fransisca Fitri menolak pengesahan RUU Ormas dengan alasan kebebasan berserikat tidak boleh dibatasi. Selain menolak RUU Ormas, ia juga mendesak pemerintah mencabut UU 8/1985 tentang Ormas.

 

Fransisca menyarankan, lebih baik pemerintah merencanakan untuk membahas RUU Perkumpulan untuk mengatur LSM/ormas. “Aturlah dalam kerangka hukum yang benar,” katanya, Rabu (27/3).

 

Dia tidak percaya pemerintah ingin memberdayakan ormas. Sepengetahuannya, pemberdayaan ormas itu tidak ada, yang terjadi malah pengawasan berlebih pemerintah terhadap ruang gerak LSM/ormas. “Tidak ada pemberdayaan ormas. Ada represif,” ujar Fransisca.

 

Dia menyoroti Pasal 11 RUU Ormas terkait ormas yang berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum. Kalau patokannya itu, menurut dia, maka sudah diatur dalam UU Yayasan. Selain sudah mengatur pendirian, tata kelola internal organisasi, struktur organisasi, dan kewajiban yayasan, juga sifatnya tidak mengekang.

Menurut Fransisca, proses konsultasi terhadap pemerintah dalam membahas RUU Ormas, dinilainya, sangat terbatas. Selain sedikit yang diundang sehingga tidak mewakili pandangan seluruh LSM/ormas, juga yang menghadiri audiensi di DPR sangat sedikit.  “Hanya orang tertentu saja yang bisa hadir,” katanya.

 

Staf Ahli Mendagri Reydonnyzar Moenek menyilakan, beberapa kelompok terus menyuarakan penolakan terhadap pengesahan RUU Ormas. Hanya saja, ia menegaskan, pemerintah dan DPR tidak bakal tunduk dengan tekanan dari kelompok tertentu. Kalau disebut RUU Ormas bersifat represif, ia menuduh, berarti mereka belum membaca atau tidak memahami isi draft.

“Di mana letak equality before the law? Mereka mau mengatur negara, tapi negara dilarang mengatur?” sentil Reydonnyzar.

 

Ia menjamin, sangat tidak mungkin pemerintah bersikap represif terhadap ormas seperti era Orde Baru. Di era keterbukaan media dan demokrasi, menurut dia, menjadi blunder kalau pemerintah memaksakan sistem otoriter.

Yang  ada, jamin dia, pemerintah ingin memberdayakan ormas dalam konsep penataan administrasi, bukan ingin memberangus. Namun kalau pemerintah masih terus dituduh bakal membungkam kebebasan berserikat, pihaknya menuding mereka memang tidak transparan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement