REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan sengketa pemilu yang dihadapi Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menandakan ada yang masih kurang dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang pelaksanaan pemilu.
"Masih ada pekerjaan rumah besar, bahwa kerangka hukum kepemiluan di Indonesia belum selesai. Ada kondisi-kondisi kekinian yang belum mampu ditangkap oleh UU," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, di Jakarta, Selasa (19/3).
Kesimpulan itu diambil Titi dengan berkaca pada kasus sengketa yang dialami PBB dan PKPI. Pada kasus PKPI, setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu oleh KPU, partai yang didirikan Sutiyoso itu mengajukan sengketa pemilu ke Bawaslu. Hal itu sesuai dengan aturan UU pemilu tentang penyelesaian sengketa pemilu.
Setelah melewati sidang ajudikasi, Bawaslu ternyata mengambil keputusan bahwa PKPI memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu 2014. Lalu, Bawaslu memerintahkan KPU untuk mengeluarkan keputusan menetapkan PKPI sebagai peserta pemilu. Tetapi, KPU menyikapi berbeda. Karena KPU bersikukuh telah melakukan verifikasi terhadap PKPI dengan benar.
Akhirnya Bawaslu meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) atas kewenangan Bawaslu. Namun, KPU urung mengubah pendiriannya dan nasib PKPI tetap menggantung. "Ada kondisi hukum yang tak bisa dijawab UU pemilu bagaimana kalau putusan Bawaslu ditolak, tapi KPU merasa benar karena tidak diatur UU. Pembuat UU yang menciptakan kondisi itu," ungkap Titi. Sehingga, lanjut Titi, mekanisme kepemiluan yang berkaitan dengan hukum tidak tuntas.