REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen FISIP UI, Eman Sulaeman Nasim berpendapat, segala hal yang bersifat penunjukan langsung disertai rekayasa perubahan peraturan dan perundang-undangan yang ada, seperti dalam pembangunan jalan tol, rawan penyelewengan.
Pemerintah berencana menunjuk langsung PT Hutama Karya (Persero) membangun dan mengelola jalan tol Trans Sumatra, serta ruas-ruas tol lainnya yang layak ekonomi namun tidak layak secara finansial.
Penunjukkan langsung pemerintah yang disertai dengan penggelontoran besar-besaran uang negara dari APBN sebesar lima triliun rupiah itu tanpa melalui tender, dapat dikategorikan melanggar perundang undangan dan melakukan tindakan korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Menurut Eman, penyelewengan sangat rentan terjadi menyusul dana yang digelontorkan sangat besar. Jika hal ini tetap dilakukan pemerintah, maka akan muncul kasus century jilid II.
Apalagi Eman berpendapat saat ini mendekati Pemilu dan Pilpres, dimana partai politik maupun orang-orang yang akan berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilpres membutuhkan dana yang amat besar.
"Apabila penujukkan langsung disertai penggelontoran dana APBN sebesar lima triliun rupiah tetap dipaksakan, wajar jika masyarakat menduga dananya nanti akan digunakan untuk menyukseskan salah satu parpol maupun tokoh yang berminat menjadi calon presiden," tutur Eman dalam acara Diskusi Publik dengan tema 'Pro Kontra Penunjukkan Langsung Hutama Karya Sebagai Pembangun dan Pengelola Jalan Tol' yang digelar Institute For Public Trust, di Jakarta, Rabu (13/3).
Eman menyatakan guna menghindari dugaan dan praduga masyarakat tersebut, pihaknya menghimbau pemerintah bekerja sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. "Jika ingin melakukan pembangunan termasuk pembangunan jalan tol, maka lakukan secara tarnsfaran, efisien dan terbuka. Bukan dengan cara penunjukkan langsung,” ujar Eman mengakhiri.