Rabu 13 Mar 2013 15:34 WIB

'Pengadilan Tipikor Daerah Harus Dievaluasi'

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: A.Syalaby Ichsan
Emerson Yuntho
Foto: Antara
Emerson Yuntho

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah diminta untuk dievaluasi karena masih tingginya vonis bebas dan ringan terhadap terdakwa perkara korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menjelaskan, vonis bersalah dari Pengadilan Tipikor di daerah  belum ada yang di atas 10 tahun. Kapasitas dan kapabilitas hakim dianggap menjadi salah satu penyebabnya. 

"Ada masalah rekrutmen sumber daya manusia di pengadilan Tipikor dan pengawasan yang lemah," kata Emerson dalam diskusi publik Evaluasi Pengadilan Tipikor di Indonesia, di Jakarta, Rabu (13/3).

Berdasarkan catatan  ICW,  Pengadilan Tipikor Surabaya menjadi terbanyak telah memutus bebas 26 koruptor, disusul Samarinda dengan 15 kasus bebas dan Semarang dengan 7 kasus.

Di tempat yang sama, Jaksa Agung Pidana Khusus Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto mengatakan hal senada. Menurutnya, Pengadilan Tipikor di Ibu Kota Provinsi memang tak efektif.

Berdasarkan penilaian Badan Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan RI Tahun 2012 terhadap 399 responden (jaksa , hakim, dan pengacara) disebutkan 335 responden menilai Pengadilan Tipikor daerah memang tak efektif.

Survei tersebut, tutur Andhi, tersebar di tujuh wilayah Kejaksaan Tinggi dan 43 Kejaksaan Negeri secara random sampling. Sedangkan yang menyebut efektif hanya 59 responden atau 14,79 persen dan sebanyak lima responden tidak menjawab (1,25 persen).

Menurut Andi, salah satu   masalah dalam keberadaan Pengadilan Tipikor, yaitu substansial bahwa hakim tidak fokus dalam menangani pidana korupsi. Selain itu terkait hakim ad hoc kurang bisa menangani perkara korupsi karena latar belakang hakim tersebut.

“Jadi, banyaknya putusan bebas di daerah perlu mendapat koreksi penegak hukum, “ katanya. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement