REPUBLIKA.CO.ID, CIBINONG -- Minimnya hutan di daerah kawasan puncak menjadi penyebab maraknya bencana longsor yang terjadi di jalur puncak. Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor justru meminta komitmen dari Pemerintah pusat terkait pembebasan lahan di kawasan puncak.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Bekasi, Luthfi Syam, menyatakan, masalah minimnya hutan yang ada di kawasan puncak berkaitan erat dengan perizinan villa.
Banyaknya villa liar ditengarai menjadi penyebab maraknya bencana longsor. Tercatat ada sekitar 464 villa liar yang terdapat di kawasan puncak. Padahal, sejak adanya Perpres soal penggunaan lahan di bopunjur, Pemkab Bogor tidak pernah menerbitkan IMB baru di sepanjang Ciawi hingga Cisarua.
Luthfi menambahkan, sepanjang Ciawi hingga Cisarua merupakan kawasan lindung. Berbeda dengan kawasan hutan lindung, tanah di kawasan lindung bukan dimiliki oleh negara, melainkan milik warga, bahkan tidak jarang yang merupakan tanah adat.
"Warga di sana tidak mau begitu saja menjual tanahnya. Soalnya mereka memang berhak menggunakan tanah itu. Kami hanya bisa bekerja di tataran aturan saja," kata Luthfi kepada Republika, Kamis (7/3).
Hal ini menjadi salah satu kendala dalam upaya pembebasan lahan agar bisa menambah kawasan hutan di daerah puncak. Selain itu, APBD yang dimiliki oleh Pemkab Bogor juga tidak mungkin untuk difokuskan untuk membebaskan lahan di sana.
"Kami kan juga memiliki tanggung jawab untuk mengurusi daerah lainnya," ujarnya.
Selain itu, pertambahan penduduk yang cukup pesat di daerah Ciawi hingga Cisarua juga menjadi problema tersendiri terkait penaataan ruang di daerah tersebut, terutama menyangkut soal ketersediaan lahan untuk kawasan hutan.
Untuk itiu, lanjut Luthfi, Pemkab Bogor meminta komitmen dari Pemerintah Pusat untuk memberikan solusi soal masalah di kawasan puncak. "Paling tidak Pemerintah Pusat bisa menurunkan program-program secara kongkret," tuturnya.