REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --Inilah akibat menyembunyikan seorang buronan. Dua warga negara asing (WNA) asal Malaysia, Muhammad Hasan bin Khusi Muhammad dan R. Azmi bin Muhammad Yusof divonis hukuman tujuh tahun penjara. Hukuman ini dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (5/3).
Dua warga negara Malaysia ini dianggap terbukti dengan sengaja menyembunyikan Neneng Sri Wahyuni, yang menjadi buronan kasus dugaan korupsi PLTS di Kemenakertrans. "Mengadili, menyatakan Muhammad Hasan dan R. Azmi terbukti menghalangi dan merintangi penyidikan kasus korupsi. Menjatuhkan putusan kepada M. Hasan-R. Azmi, dengan pidana penjara masing-masing selama tujuh tahun, dikurangi masa penahanan," kata Hakim Ketua Pangeran Napitupulu saat membacakan amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (5/3).
Kedua terdakwa ini juga dituntut dengan denda masing-masing sebesar Rp 300 juta dan subsidair enam bulan kurungan. Dua WN Malaysia ini terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 21 UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Dengan demikian, putusan ini lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut keduanya dihukum sembilan tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Majelis hakim memerintahkan keduanya tetap berada dalam tahanan.
Dalam amar putusan, majelis hakim memaparkan Neneng bertemu Muhammad Hasan pada awal Juni 2011 di Kedai Raja Abdul Aziz, dekat Universitas Utara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam pertemuan itu, Neneng meminta tolong kepada Hasan mencarikan jalan masuk ke Indonesia melalui jalur tidak resmi.
Hasan menyanggupi permintaan itu. Tidak lama kemudian, Interpol menangkap suami Neneng, Muhammad Nazaruddin, di Cartagena, Kolombia. Yang meminta Neneng meminta pertolongan kepada Hasan dan Azmi adalah Bertha Herawati.
Bertha Herawati merupakan orang yang mengurus perusahaan Nazaruddin pernah bertemu dengan terdakwa 1 dan 2 untuk menanyakan mengenai keadaan Neneng di Malaysia dan dijawab terdakwa 1 bahwa Neneng tinggal di apartemen. Bertha Herawati juga menjabat sebagai sekretaris Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat yang juga orang biasa membantu perusahaan milik Nazaruddin.
Selanjutnya Neneng meminta dua orang terdakwa untuk membantunya masuk ke Indonesia lewat jalur tidak resmi. Kemudian, terdakwa 1 dan terdakwa 2 pada 10 Juni 2012 bertemu dengan Thoyyibin Abdul Aziz dan meminta untuk untuk membantu Neneng masuk ke Indonesia lewat jalur tidak resmi, sedangkan terdakwa 1 dan terdakwa 2 dan Chalimah (pembantu rumah tangga Neneng) masuk lewat jalur resmi.
Kemudian, pada 12 Juni 2012, Neneng bersama Toyibin berangkat dari malaysia menggunakan kapal cepat dan tiba di Pelabuhan Sengkuang, Batam. Sementara Azmi, Hasan, dan satu pembantu Neneng, Chalimah alias Camilla, berangkat menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Setulang Laut, Johor, Malaysia, dan tiba di Pelabuhan Batam Center.
Setelah tiba di Batam, Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi langsung menuju Hotel Batam Center. Hasan memesan dua kamar, satu buat dia dan Azmi, sementara lainnya buat Chalimah dan Neneng.
Pada 30 Juni 2012 terdakwa 1, terdakwa 2 dan Neneng berangkat dari bandara Batam menggunakan pesawat Citilink dengan Neneng menggunakan identitas 'Nadia'. Setibanya di bandara Soekarno Hatta Neneng dan Chalimah naik taksi menuju rumah Neneng di Pasar Minggu Jakarta Selatan, sedangkan terdakwa 1 dan terdakwa 2 menggunakan taksi menuju Hotel Lumire Senen.
Sebelum ditangkap, Hasan sempat menghubungi Neneng menggunakan telepon dan mengatakan jangan tinggal di rumahnya. Hasan dan Azmi kemudian menyusul Neneng ke rumahnya. Sekitar pukul 13.00 WIB, tim KPK meringkus Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi di rumah Neneng.