REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) meminta masyarakat berkepala dingin dalam menghadapi isu pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 belakangan ini. Poin pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang selalu didengungkan sebagai dasar permintaan dibubarkannya Densus 88 diminta Polri agar diperhatikan kembali.
Polri paham, kebanyakan tudingan pelanggaran HAM ini terlihat dari maraknya kematian terduga teroris saat Densus 88 melakukan pengerebekan. Hal itu pun diakui Polri karena memang benar demikian faktanya. Akan tetapi, Polri memiliki alasan tersendiri atas sikap Densus 88 ini.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Polri Brigjen Boy Rafli Amar, langkah Densus 88 dalam melumpuhkan para terduga teroris ini tidaklah melanggar prosedur tetap (Protap).
Dia mengatakan, dalam beberapa kasus terjadinya penembakan kepada para terduga teroris tak lebih karena Densus 88 menimbang pelaku terorisme yang hendak ditangkap tersebut akan berbuat nekat. Kenekatan inilah yang enggan dijadikan perjudian oleh Densus 88 apabila tak segera dilakukan tindakan pada para pelaku teroris.
Dicontohkannya, dalam beberapa kejadian terakhir di Sulawesi Tengah (Sulteng), penembakan dilakukan karena para terduga teroris berbekal senjata api. “Malah tak jarang orang-orang yang dihadapi oleh Densus 88 ini membekali diri mereka dengan bahan peledak. Sehinggga tindakan cepat harus segera diputuskan petugas di lapangan,” ujarnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (3/5).
Boy menambahkan, justru dalam beberapa momen para anggota polisi, meski bukan dari Densus 88, justru menjadi korban kebrutalan teroris. Seperti yang terjadi di Poso akhir 2012 lalu. Kematian aparat di tangan para teroris inilah, menurut dia, yang semakin mambuat Densus 88 kian meningkatkan kewaspadaan.