REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mengatakan, pemerintah pusat perlu melakukan dialog dengan warga Papua. Jika dialog tidak berhasil menyelesaikan masalah dengan baik, setidaknya dialog bisa mengurangi konflik kekerasan di Papua.
Dialog dengan warga Papua, ujar Asvi, perlu dilakukan sebagai bentuk pengakuan dan pengangkatan martabat warga Papua. "Dialog sendiri harus dilakukan dengan gagasan saling percaya guna melakukan rekonsiliasi Papua," katanya dalam Dialog untuk Redam Kekerasan di Papua di Gedung DPR/MPR, Senin, (4/3).
Saat ini, Asvi menerangkan, Jaringan Damai Papua sudah berupaya untuk memetakan permasalah di Papua. Namun kinerja mereka sepertinya tersendat.
Sebab, hingga saat ini belum dipastikan siapa representasi warga papua, subtansi apa yang akan dijadikan bahan dialog dengan pemerintah pusat, serta format dialog sendiri seperti apa. Masalah kesejahteraan juga bisa dijadikan sebagai bahan dialog dengan pemerintah pusat.
Agar masyarakat Papua merasa sebagai bagian dari Indonesia, Asvi menambahkan, fakta-fakta sejarah yang melibatkan Papua sebagai tempat tumbuhnya benih-benih nasionalisme harus dimasukkan ke dalam buku sejarah di sekolah-sekolah.
Misalnya saja sejarah di mana Menteri Dalam Negeri era Orde Baru, Amir Machmud diberi tugas Presiden Soeharto agar melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1987 lalu. Selain itu juga kisah di mana Hatta dan Syahrir ditahan di Bandanaira, Papua.
Dengan memasukkan kisah sejarah semacam itu ke dalam buku pelajaran, Asvi menilai, masyarakat terutama warga Papua akan merasa bagian dari bangsa Indonesia. Sebab leluhur mereka turut berkontribusi bagi kemerdekaan RI.