Selasa 26 Feb 2013 14:42 WIB

'Penetapan Pemenang Pemilukada Perlu Ditinjau Ulang'

Jeffrie Geovanie
Foto: Republika/Yasin Habibi
Jeffrie Geovanie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan pemenang pemilukada di Tanah Air dinilai perlu ditinjau ulang. Saat ini, pasangan calon dinyatakan memenangkan pemilukada jika meraih 30 persen lebih suara, sedangkan khusus untuk Jakarta harus meraih 50 persen plus satu suara.

Dewan Penasihat Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jeffrie Geovanie, mengatakan, sangat penting untuk meninjau ulang aturan mengenai penetapan pemenang pemilukada di provinsi lain, selain Jakarta.

''Mengapa provinsi lain harus dibedakan dari Jakarta. Kalau Jakarta dianggap sebagai provinsi penting dan juga ibukota, apakah kita bisa menganggap Jabar, Jateng dan Jatim tidak penting?'' ungkap pendiri The Indonesian Institute dalam siaran persnya yang diterima Republika Online, Selasa (26/2).

Jeffrie menegaskan, demi perbaikan kualitas pemilukada dan demokrasi sudah sepantasnya format pemilukada di berbagai provinsi disamakan dengan pemilukada Jakarta.

''Pemenang harus menang bila unggul di atas 50 persen lebih suaranya,'' tegas Jeffrie.

Saat ini, penetapan pemenang Pemilukada di Indonesia mengacu pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasangan calon dinyatakan memenangkan pemilihan jika mencapai suara lebih dari 30 persen.

Sedangkan khusus DKI Jakarta, sesuai Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007, pasangan calon dinyatakan menang jika memperoleh 50 persen + 1 suara.

''Pasal 11 ayat 2 menyebut kemungkinan putaran kedua, jika pasangan calon tidak mencapai 50 persen,'' tutur Jeffrie.

Diakuinya, pembedaan persentase penetapan pemenang itu bukan tanpa pertimbangan matang, mengingat beban anggaran yang besar dan juga partisipasi pemilih yang rendah. Apalagi, kata dia, di Indonesia  tidak ada peraturan “compulsory voting/wajib memilih” seperti yang berlaku di Negara Australia.

''Kualitas demokrasi patut dipertanyakan jika jumlah sengketa sendiri masih lebih banyak dari jumlah pemilukada di Indonesia, atau karena pemilih Golput menjadi pemenang Pemilukada.'' Sehingga, kata Jeffrie, legitimasi politik penetapan kandidat pemenang pemilihan bisa dipertanyakan.

Hal senada juga diungkapkan Endang Tirtana, peneliti Maarif Institute Jakarta.  Menurut Endang, perbedaan aturan pemilukada DKI dengan daerah lainnya bisa jadi berefek pada berbedanya kualitas pemilihan dan legitimasi penetapan.

''Pemberlakuan perolehan suara lebih dari 50 persen seharusnya berlaku sama untuk daerah-daerah lain, jika ingin melakukan proses demokrasi yang baik,'' ungkapnya.

Pemberlakuan ini, kata dia, harus dibarengi upaya-upaya lainnya yakni persiapan teknis dan administratif yang baik dari penyelenggara pemilihan.

''Mulai dari registrasi, validiasi pemilih, hingga penanganan logistik untuk mengurangi angka Golput yang disebabkan kesalahan adminsitratif,'' kata Endang.

Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap politik uang karena motivasi masyarakat untuk apatis atau aktif bisa jadi karena terdidik oleh penggunaan cara-cara tersebut.

Endang juga menyarankan perlunya mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk aktif memilih dengan adanya tawaran kontrak politik kandidat dengan pemilih.

''Hal ini lebih memungkinkan dilakukan karena pemilukada lebih dekat dengan masyarakat, target pemilih."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement