REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Wakil Koordinator Departemen Kepemudaan dan Olahraga DPD Partai Demokrat Sumatera Utara (Sumut), Muazzul mengundurkan diri dari kepengurusan dan keanggotaan partai tersebut pascapenetapan status tersangka terhadap Anas Urbaningrum.
Sikap politik tersebut diiringi dengan penyerahan surat pengunduran diri kepada kesekretariatan pengurus DPD Partai Demokrat Sumut di Jalan Multatuli Medan, Senin. "Surat pengunduran diri itu sudah saya serahkan pukul 15.00 WIB tadi," kata Muazzul di Medan, Senin (25/2).
Menurut dia, pilihan untuk mengundurkan diri bukan karena adanya penetapan tersangka terhadap mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, melainkan karena adanya indikasi tekanan politik atas keputusan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai politisi, ia mengaku melihat indikasi kuat tentang adanya kekuatan tertentu yang menginginkan proses pemeriksaan terhadap Anas Urbanigrum dipercepat sehingga dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Hambalang.
Salah satu indikasi adanya intervensi dan muatan politisi tersebut dapat terlihat dari bocornya surat perintah penyidikan (Sprindik) milik KPK tentang proses hukum yang dijalankan terhadap Anas Urbaningrum.
Jika tidak ada intervesi kekuasaan, pihaknya tidak yakin jika surat yang sangat rahasia dari lembaga yang sangat dipercayai masyarakat seperti KPK bisa bocor ke masyarakat. "Jadi, nampak jelas ada kekuasaan yang digunakan melalui majelis tinggi (Partai Demokrat)," katanya.
Sebagai alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Muazzul mengaku sangat mengenal kepribadian dan komitmen Anas Urbanigrum yang pernah menjadi ketua umum organisasi kemahasiswaan tersebut di tingkat nasional.
Ia mengatakan, ketika menjadi Ketua Umum Pengurus besar HMI, bahkan sewaktu menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Anas Urbaningrum selalu mengutamakan integritas dan tidak mau berurusan dengan korupsi dan kolusi.
Jika memang Anas Urbaningrum harus menghadapi masalah hukum karena diduga terlibat dalam praktik korupsi, pihaknya mengharapkan proses berjalan normal dan tidak diintervensi melalui kekuasaan.
"Biarlah proses hukum yang bicara, bukan kekuasaan," kata Muazzul yang juga pengurus Pimpinan Kolektif Majelis Nasional Korps Alumni HMI itu.